BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Cryptosporidiosis
merupakan suatu infeksi usus halus yang disebabkan oleh Cryptosporidium sp..Cryptosporidium sp. merupakan
salah satu protozoa yang termasuk dalam waterborne disease (penyakit yang
ditularkan melalui perantara air). Cryptosporidium sp.
dikenal sebagai penyakit parasit obligat seluler dan bersifat sangat patogen
serta dapat menyerang sel epitel saluran pencernaan, saluran empedu dan saluran
pernapasan hewan dan manusia.
Cryptosporidium
sp. dapat menyerang lebih dari 45
spesies vertebrata termasuk unggas dan burung, ikan, reptil, mamalia kecil
(tikus, kucing, anjing) dan mamalia besar (terutama sapi dan biri-biri),
Cryptosporidium menyebabkan diare pada mamalia dan bersifat zoonosis
terhadap manusia.
Bagi peternak dapat menyebabkan kerugian berupa
peningkatan biaya pengobatan dan perawatan untuk ternak yang terkena
Cryptosporidiosis. Tindakan yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan
agar tidak terkena Cryptosporidiosis adalah dengan lebih memperhatikan sanitasi
peralatan dan kandang serta manajemen ternak.
Penyebaran penyakit Cryptosporidiosis sangat luas
dengan vertebrata sebagai inangnya. Parasit keluar bersama fesesdan dapat
mencemari lingkungan dalam bentuk ookista.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah
etiologi dari penyakit Cryptosporidiosis?
2.
Bagaimanakah
morfologi dari Cryptosporidium sp.?
3.
Bagaimanakah
epidemiologi dari Cryptosporidium sp.?
4.
Bagaimanakah
siklus hidup Cryptosporidium sp.?
5.
Bagaimanakah
cara penularan dari Cryptosporidium sp.?
6.
Bagaimanakah
gejala dan tanda klinis jika hewan terjangkit penyakit Cryptosporidiosis?
7.
Bagaimanakah
cara mendiagnosa penyakit Cryptosporidiosis?
8.
Apakah
tindakan ( pencegahan dan pengobatan ) agar hewan terbebas dari penyakit
Cryptosporidiosis?
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT TULISAN
2.1
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini dapat
dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Untuk
dapat memenuhi mata tugas mata kuliah Parasitologi Veteriner II
2.
Agar
dapat mengetahui etiologi dari penyakit Cryptosporidiosis
3.
Agar
dapat mengetahui morfologi dari Cryptosporidium sp.
4.
Agar
dapat mengetahui epidemiologi dari Cryptosporidium sp.
5.
Agar
dapat mengetahui siklus hidup dari Cryptosporidium sp.
6.
Agar
dapat mengetahui cara penularan dari Cryptosporidium sp.
7.
Agar
dapat mengetahui gejala dan tanda klinis yang ditimbulkan jika hewan terjangkit
penyakit Cryptosporidiosis
8.
Agar
dapat mengetahui cara mendiagnosa penyakit Cryptosporidiosis
9.
Agar
dapat mengetahui tindakan ( pencegahan dan pengobatan ) yang dapat dilakukan
agar hewan terbebas dari penyakit Cryptosporidiosis
2.2
Manfaat
Penulisan
Manfaat yang dapat
diperoleh dari penulisan karya ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagi penulis, dapat lebih memahami
penyakit Cryptosporidiosis
pada hewan.
2.
Bagi masyarakat umum, sebagai bahan
informasi dan sumber bacaan mengenai parasit Cryptosporidium sp. yang menyebabkan penyakit Cryptosporidiosis.
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1 ETIOLOGI
Cryptosporidium adalah protozoa patogen dari divisi
Apicomplexa dan menyebabkan penyakit diare yang disebut cryptosporidiosis. Genus
dari Cryptosporidium sp.dicirikan dalam bentuk ookista.
Ookista matang mengandung 4 sporokista. Ookista Cryptosporidium sp.berbentuk
bundar dan berdinding tebal dengan diameter 1,5 – 5 µm. Sporulasi ookista
menghasilkan 4 sporozoit yang memanjang. Taksonomi dari Cryptosporidium sp.yaitu sebagai berikut:
Filum : Ampicomplexa
Kelas :
Sporozoasida
Subkelas :
Coccidiasina
Ordo :
Eucoccidiorida
Subordo :
Eimeriorina
Famili :
Cryptosporidiidae
Gambar 1. Ookista dari Cryptosporidium sp.menggunakan pewarnaan safranin (kiri) dan dengan
immunofluorescent antibodies (kanan)
Spesies dari Cryptosporidium sp.yang
patogen pada manusia adalah Cryptosporidium parvum.
Protozoa ini merupakan subkelas Coccidia yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Meskipun parasit ini bersifat intraseluler tetapi banyak juga
ditemukan di bawah membran terluar yang melapisi permukaan sel pada lambung dan
usus halus. Cryptosporidium sp.terdiri atas
berbagai spesies diantaranya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar Spesies dari genus Cryptosporidium
sp..
Penyebaran dari ookista Cryptosporidium parvum dipengaruhi
oleh sifat biologi yang dimiliknyai. Ookista Cryptosporidium sp.cukup
tahan pada kondisi lembab. Ookista Cryptosporidium sp.tahan
di lingkungan akibat morfologi dindingnya cukup tebal yang menyebabkan tetap
tahan di alam sehingga dikenal dengan hidden spore atau underground spore.
Selain itu, ookista Cryptosporidium sp.juga
sangat tahan terhadap disinfektan termasuk pengapuran dan klorinasi air, tetapi
dapat mati pada temperatur 65 °C selama 20 – 30 menit dan melalui proses
pengeringan serta dengan menggunakan sodium hipoklorit 5% atau amonia 5% -10%.
3.2 MORFOLOGI
Cryptosporidium sp. terdiri dari banyak spesies
tapi yang paling pathogen yaitu Cryptosporidium parvum yang
menyebabkan diare kronis dan muntah
menyebabkan diare (kebanyakan kronis). Dalam siklus hidupnya Cryptosporidium sp. mengalami beberapa kali perubahan bentuk (Stadium).
menyebabkan diare (kebanyakan kronis). Dalam siklus hidupnya Cryptosporidium sp. mengalami beberapa kali perubahan bentuk (Stadium).
Berikut
ini ciri morfologi :
1.
Sporozoit
mempunyai bentuk seperti pisang dimana bagian anteriornya meruncing dan bagian
posteriornya membulat.
2.
Gametosit
dan skizon ukuran 2-4 mikro meter diproduksi dalam siklus hidupCryptosporidium
parvum ,tapi jarang ditemukan pada feses.
3.
Ookista Biasanya
berbentuk bulat, berdiameter 4 - 6 um mengandung 4 sporozit yang tidak terlalu
terlihat,refraktil, terdiri 1-8 granula yang menonjol dan dilapisi dua dinding
tebal. Ookista resisten dan sangat resisten terhadap proses klorinasi tapi
dapat mati dengan teknik pemasakan konvensional.
Gambar 2. Ookista dari Cryptosporidium sp.
3.3 EPIDEMIOLOGI
Cryptosporidiosis merupakan penyakit endemic yang hampir terjadi di
seluruh dunia terutama pada negara-negara berkembang yang lingkungan
sanitasinya kurang baik. Ookista dari Cryptosporidium
sp. mudah ditemukan di lingkungan yang lembab terutama disekitaran air
permukaan. Faktor lingkungan sangat berperan penting dalam
terjadinya infeksi pada berbagai tingkat umur hewan. Keadaan lingkungan daerah
dataran rendah dan dataran tinggi menyebabkan perkembangan Cryptosporidium sp. yang berbeda.
Hal ini dilihat dari contoh tingkat prevalensi pada sapi bali, dimana
prevalensi dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah
(tabel 2).
Tabel
2.
Asosiasi Cryptosporidiosis pada daerah dataran rendah dan dataran
tinggi
Bisa dikatakan bahwa resiko dataran tinggi terhadap Cryptosporidiosis
kejadiannya 1,67 kali dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Kejadian Cryptosporidiosis
ini sangat erat hubungannya dengan kondisi daerah. Cryptosporidiosis lebih
tinggi pada periode musim dingin daripada musim panas (CHAI et al.,
1996 dalam RAN YU et al., 2004).
Kecamatan Selat dan Sidemen merupakan daerah dataran
tinggi memiliki kelembaban berkisar 65−85%, suhu lingkungan 24–32°C.
Curah hujan cukup tinggi merupakan kondisi sesuai untuk berkembang dan menyebarnya C. parvum.
Kecamatan Karangasem dan Manggis merupakan dataran
rendah dengan kelembaban 55−65%,
suhu lingkungan 28–33°C. Dataran rendah ini merupakan kondisi yang kurang
mendukung perkembangan protozoa karena daerahnya kering dan musim panas yang lebih lama dibandingkan dengan
daerah dataran tinggi. Ookista C. parvum penyebarannya dipengaruhi pula
oleh sifat biologi yang dimiliki. Ookista cukup tahan pada kondisi lembab
morfologi dindingnya cukup tebal, yang menyebabkan tetap tahan di alam sehingga
dikenal dengan hidden spore atau underground spore (UPTON,
2004).
3.4 SIKLUS
HIDUP
Tahap infeksi dari protozoa ini adalah ookista dengan ukuran
5-7µm, yang tahan terhadap kondisi lingkungan. Infeksi terjadi karena ookista
masuk dan teringesti ke induk semang yang cocok. Ookista melakukan eksitasi dan
mengeluarkan sporozoit infektif yang akan menjadi parasit pada sel epitel
terutama dalam saluran pencernaan inang.
Gambar 3. siklus
hidup Cryptosporidium sp.
Ookista yang telah mengalami sporulasi, terdiri dari 4
sporozoit, dikeluarkan melalui feses organisme yang terinfeksi dan mungkin
mengalami rute yang lain seperti melalui sekresi saluran pernafasan (1).
Transmisi dari Cryptosporidium sp. umumnya terjadi melalui kontak
dengan air yang telah terkontaminasi.
Setelah tertelan (dan mungkin terhirup) oleh hospes (3)
eksistasi terjadi (a). Empat sporozoit dikeluarkan dari tiap ookista,menembus
epithelial (b,c) usus dan jaringan lain seperti saluran pernafasan. Sporozoid
akan berkembang menjadi tropozoit. Kemudian mengalami multiplikasi aseksual
(skizogoni atau merogoni) (d,e) yang menghasilkan meront tipe I.
Merozoit yang dihasilkan meront tipe I dapat mereinfaksi sel
dan mengulang kembali siklus asekseual atau menginfeksi sel dan berkembang
menjadi meront tipe II (f). Tiap meron tipe II akan membesaskan 4 merozoit.
Diyakini hanya merozoit tipe II inilah yang mengalami multiplikasi seksual
(gametogoni) menghasilkan mikrogametosit(g) dan makrogametosit(h). Mikrogamet
keluar dari mikrogametosit akan membuahi makrogamet yang keluar dari
makrogametosit dan menghasilkan zigot (i). Sekitar 80% zigot akan berkembang
menjadi ookista berdinding tebal (j) dan 20% zigot berkembang menjadi ookista
berdinding tipis (k).
Ookista akan bersporulasi (berkembang menjadi sporozoit yang
infektif). Keluarnya sporozoit dari ookista yang berdinding tipis akan
menyebabkan autoinfeksi. Sementara ookista berdinding tebal akan keluar melalui
feses dan apabila tertelan akan segera menginfeksi.
3.5 CARA PENULARAN
Cara penularan Cryptosporidium umumnya
terjadi melalui air, tanah, makanan, dan infeksi dari hewan terutama melalui
fesesnya yang sudah terkontaminasi oleh ookista dari Cryptosporidium sp.. Faktor penyebab paling tinggi
terhadap penyakit Cryptosporidiosis adalah ternak yang diberikan air minum yang
airnya tersebut diambil dari sungai. Dimana biasanya peternak akan
mengandangkan ternaknya tersebut di dekat sungai untuk mempermudah mendapatkan
air untuk membersihkan kandangnya sehingga pada saat peternak tersebut
membersihkan kandang dengan feses ternak yang terinfeksi Cryptosporidium sp.
maka bekas-bekas pembersihan
tersebut mengikuti aliran sungai dan ketika ada hewan yang meminum air di
sungai itu, hewan tersebut akan terinfeksi.
Penyakit ini bersifat zoonosis disebabkan
karena Cryptosporidium sp.
memiliki bermacam-macam reservoar seperti unggas, ikan, reptile, mamalia kecil
( tikus,kucing, anjing) dan mamalia besar terutama sapi, domba, kambing ,babi
dan kuda.
Gambar 4. Cara
penularan Cryptosporidium
sp.
3.6 GEJALA / TANDA KLINIS
Hewan yang terinfeksi oleh
Cryptosporidium sp. diantaranya adalah sapi, kambing,
ayam, tikus, babi, anjing dan kucing, sedangkan hewan yang sangat rentan
terhadap infeksi Cryptosporidium sp. yaitu sapi, domba, babi dan kuda.
Gejala klinis dari penderita Cryptosporidiosis dapat
bervariasi sesuai dengan status kekebalan hospesnya. Pada hewan muda
kemungkinan peran sistem kekebalan yang masih belum sempurna, jika dibandingkan
dengan hewan dewasa. Sehingga infeksi Cryptosporidium sp.pada hewan muda lebih tinggi
dibandingkan dengan hewan dewasa.
Anak sapi (pedet) yang menderita Cryptosporidiosis biasanya
akan mengalami diare ringan sampai sedang yang berlangsung selama beberapa hari
tanpa pengobatan. Diare akibat Cryptosporidiosis cenderung lebih lama beberapa
hari dibandingkan dengan diare yang disebabkan oleh rotavirus, coronavirus,
atau enterotoksigenik Escherichia coli.
Tinja/feses pada hewan yang menderita Cryptosporidiosis
berwarna kuning atau lebih pucat dengan konsistensi berair dan berlendir. Diare
yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan penurunan berat badan dan
kekurusan.
Pada kebanyakan kasus pada hewan, diare akan berkurang
setelah beberapa hari. Gejala klinis lain yang terlihat yaitu kelesuan,
anoreksia dan dehidrasi. Dehidrasi berat, kelemahan dan koleps juga dapat
terjadi pada kasus diare akut. Biasanya hal ini terjadi pada pedet (neonatal).
Gambar 5. Diare
pada pedet akibat infeksi Cryptosporidium sp..
Salah satu faktor penyebab Cryptosporidiosis pada pedet
adalah kontak langsung dengan lantai yang sebelumnya sudah tercemar Cryptosporidium parvum yang berasal dari ternak dan
lingkungan tercemar. Kualitas kolostrum yang bermutu jelek juga merupakan
predisposisi terjadinya Cryptosporidiosis pada pedet. Penggunaan pupuk kandang
untuk tanaman baik di ladang dan sawah merupakan faktor yang dapat menyebarkan
kejadian Cryptosporidiosis pada pedet.
Cryptosporidiosis yang terjadi pada hewan dewasa dapat
disebabkan karena adanya autoinfeksi serta dapat sebagai reservoar parasit
anthropozoonosis yang berbahaya bagi manusia dan merupakan agen penyakit
zoonotik yang memungkinkan terjadinya infeksi lebih lanjut. Pada hewan dewasa
infeksi terlihat tidak begitu menonjol dibandingkan dengan hewan muda. Hal ini
disebabkan adanya peran sistem kekebalan yang telah dimiliki oleh hewan dewasa.
3.7 DIAGNOSA
Ada banyak tes diagnostik untuk
Cryptosporidium, diantaranya secara mikroskopis, staining (pemberian noda), dan
deteksi dari antibodi.
a) Mikroskopis dapat membantu
mengidentifikasi oocysts atau ookista pada feses yang terinfeksi. Untuk
meningkatkan peluang mencari oocysts, ahli diagnosa harus memeriksa minimal 3
sampel feses.
b) Teknik Staining yaitu dengan
memberikan asam-fast staining, yang akan memberikan noda merah pada oocysts.
Sebagian dari usus kecil dapat dicemarkan dengan hematoxylin dan eosin (H &
E), yang akan menampilkan oocysts yang melekat pada sel epithelial.
c) Deteksi antigen merupakan cara lain
untuk mendiagnosa penyakit. Ini dapat dilakukan dengan Direct Fluorescent
Antibody (DFA).
d) Pewarnaan dengan safranin.
e) Polymerase chain reaction (PCR) bisa
juga digunakan untuk mendiagnosa cryptosporidiosis, bahkan dapat
mengidentifikasi jenis Cryptosporidium yang lebih spesifik.
3.8 TINDAKAN
Pengobatan
Pengobatan awal yang dapat dilakukan adalah
dengan penggantian cairan yang hilang yaitu dengan pemberian elektrolit hangat.
Anak sapi yang terinfeksi Cryptosporidium sp.terutama jika menunjukkan gejala
diare yang parah harus diberikan cairan tersebut secara oral maupun parenteral,
bila perlu sampai pemulihan terjadi. Anak sapi masih diberikan susu dalam
jumlah kecil beberapa kali sehari untuk mengoptimalkan pencernaan dan untuk
meminimalkan penurunan berat badan.
Halofuginone dilaporkan dapat mengurangi
produksi ookista pada domba yang diinfeksi secara eksperimental dan pada anak
sapi yang terinfeksi secara alami maupun yang diinfeksi secara eksperimental.
Pemberian paromomycin sulfat dengan dosis 100 mg/kg/hari PO selama 11 hari
telah terbukti berhasil dalam mencegah penyakit secara alami dalam uji coba di
lapangan pada anak kambing.
Pencegahan
Hal yang sekiranya dapat dilakukan untuk mencegah penyakit
Cryptosporidiosis nadalah sebagai berikut :
1.
Mencegah
penggunaan air yang terkotaminasi dengan ookista Cryptosporidium sp..
2.
Mencegah kosumsi pakan hewan yang terkotaminasi dengan ookista Cryptosporidium sp..
3.
Isolasikan
hewan penderita Cryptosporidiosis sampai hewan tersebut sembuh
4.
Menghindari
terpapar dengan feses hewan atau manusia yang terkotaminasi dengan ookista Cryptosporidium sp..
5.
Sanitasi kandang yang baik
6.
Kandang cukup sinar matahari karena dapat
mengurangi atau membunuh Cryptosporidium sp..
BAB IV
PEMBAHASAN
Salah satu penyebab kasus Cryptosporidiosis pada
pedet adalah adanya kontak langsung dengan lantai yang sebelumnya sudah
tercemar Cryptosporidium sp.yang berasal dari ternak dan lingkungan tercemar.
Kebanyakan hal ini terjadi karena hewan yang biasa mengkosumsi air sungai. Sebagian
besar peternak menggunakan
air sungai, air telaga atau air kolam (air permukaan tanah) untuk pemberian minum
ternaknya. Selain
itu juga ternak yang mudah terinfeksi adalah hewan yang ditempatkan pada
kandang dengan alas tanah, karena alas tanah menyebabkan kondisi kandang
menjadi lembab (Muhid et al. (2011). Ternak yang menggunakan alas
kandang tanah memiliki resiko terinfeksi Cryptosporidium sp.lebih tinggi
daripada ternak yang menggunakan alas kandang semen.
Sistem pemeliharaan ternak sapi terdiri dari 3 cara,
yaitu dikandangkan terus-menerus (intensif), dilepas pada siang hari dan
dikandangkan pada malam hari (semi-intensif), dan dilepas atau digembalakan
secara terus-menerus (ekstensif). Sistem pemeliharaan ternak yang dikandangkan
secara terus-menerus lebih lebih mudah terinfeksi dibandingkan dengan ternak
yang dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dan dilepas atau
digembalakan terus menerus . Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp.lebih
tinggi pada ternak yang dikandangkan secara terus-menerus, karena pada umumnya
ternak defekasi dan mengkonsumsi pakan dan air pada tempat yang sama (Muhid et
al. 2011).
Frekuensi membersihkan kandang termasuk faktor yang
dapat memengaruhi prevalensi infeksi Cryptosporidiosis pada ternak sapi.
Kandang yang dibersihkan secara terus-menerus dapat mengurangi tumpukan feses
sapi yang berpotensi sebagai media penyebab infeksi Cryptosporidiosis.. Kandang
yang jarang dibersihkan menyebabkan adanya tumpukan kotoran yang dapat
mengakibatkan kondisi kandang menjadi lembab. Kondisi lingkungan yang basah dan
cukup lembab dapat menyebabkan ookista Cryptosporidium sp.bertahan hidup
selama berbulan-bulan, namun ookista Cryptosporidium sp.tidak dapat
bertahan lama pada kondisi kering. Salah satu faktor penyebab infeksi Cryptosporidium
sp.adalah sumber air yang digunakan oleh peternak sapi (Office
International des Epizooties (2004).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Cryptosporidiosis merupakan suatu infeksi usus halus yang
disebabkan oleh Cryptosporidium sp.. Penyakit ini bersifat zoonosis yang
dapat ditularkan dari hewan ke
manusia dan juga sebaliknya melalui perantara air atau makanan yang terinfeksi
oleh ookista Cryptosporidium sp.yang mengakibatkan diare yang sangat
serius bagi penderitanya. Gejala klinis lain yang dapat terlihat
yaitu kelesuan, anoreksia dan dehidrasi. Dehidrasi berat, kelemahan dan koleps
juga dapat terjadi pada kasus diare akut. Biasanya hal ini terjadi pada hewan
yang berumur muda. Diagnosa
banding dari penyakit ini adalah Eschericia
coli, Salmonella, dan Giardiasis/Lamblia. Umur hewan
paling rentan terinfeksi adalah pada umur 1 – 30 hari.
5.2 SARAN
Dari hasil pembahasan tersebut dapat disarankan
kepada para peternak untuk melaksanakan penangan sanitasi lingkungan kandang
secara lebih intensif, terutama di daerah dataran tinggi. Pencemaran air oleh
sejumlah ookista Cryptosporidium sp.diperlukan langkah-langkah
penanggulangan seperti perlunya pembuatan saptik tang untuk menampung kotoran
ternak, dan diupayakan pengeringan kotoran sebelum dipakai pupuk.
MengingatCryptosporidiosisadalah penyakit zoonotic maka para peternak perlu
diberikan penyuluhan untuk mengetahui dan mencegah Cryptosporidiosis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Artama K,
Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2005. Prevalensi
Infeksi Cryptosporidium sp.pada Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran
Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Enemark
HL. Hansen VB. Lindp. Heegarard PMH, Vigree H, Ahrens P, Thamsborg SM. 2003. Pathogenicity of Cryptosporidium parvum
evaluation of an animal infection model. Vet Parasitology 113:
35-57.
Jenkins
MB, Bowman DD, Foyarty EA, Ghiose WC. 2002. Cryptosporidium
parvum oocysts inactivation in three soil types at various temperatures and
water potentiolist. Soil Biology & Biochemistry (34): 1101-1109.
Magdy
EM dkk.2014.Prevalence and Genotyping of Cryptosporidium
spp. in Farm Animals in Egypt. Department of
Zoology, Faculty of Science, Kafrelsheikh University, Kafr El Sheikh, 33516
Manshur Ahmad, Irwan dan Cahyaningsih, Umi.2014.Kajian prevalensi
kriptosoridiosis dan
Sistem Manajemen Peternakan Sapi Potong di Peternakan Rakyat Kabupaten Cianjur. Fakultas Kedokteran Hewan.Institut
Pertanian Bogor.
Rifky Yudyantoro, Bambang.2014.Prevalensi kasus Kriptosporidiosis pada Sapi potong di Kecamatan Cipatujuh
dan Cikalong, Tasikmalaya, Jawa.Fakultas Kedokteran Hewan.Institut Pertanian Bogor.
Sreter
T, I Varga. 2000. Kriptosporidiosis in
birds – A Review. Veterinary Parasitology 87: 261-279.
Susilo,Joko.2013. Diare Ganas Pada Pedet
Sangat Mematikan.
Medik Veteriner Balai Veteriner Lampung
mantap.. makasi infonya gan
BalasHapus