VULNUS LACERATUM PADA EKOR ANJING LOKAL
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anjing
merupakan hewan peliharaan yang dapat
dengan mudah beradaptasi dengan manusia, sehingga anjing banyak
dijadikan sebagai teman kesayangan (Setyarini et al, 2013). Anjing merupakan salah satu dari hewan peliharaan,
namun kenyataan dilapangan hampir kebanyakan orang memelihara anjing dengan
cara dilepas atau tidak dikandangkan. Padahal ini dapat menimbulkan
kekhawatiran kepada hewan kesayangan tersebut, karena lepas dari pengawasan si
pemilik (Rahardjo, 2016).
Anjing tidak terlepas dari berbagai penyakit yang dapat
menyerangnya, baik yang bersifat infeksius maupun non infeksius. Penyakit dari agen infeksius contohnya adalah infeksi bakteri, virus, jamur, dan
parasit, sedangkan agen non-infeksius seperti trauma, gangguan metabolisme,
kekurangan nutrisi dan masih banyak lagi gangguan kesehatan yang membutuhkan
penanganan.
Dalam kehidupannya, hewan
dapat mengalami trauma akibat terkena benda panas, tumpul maupun benda tajam
dapat menyebabkan luka. Luka atau vulnus
adalah hilang atau rusaknya sebagian komponen jaringan tubuh. Ketika luka
timbul, beberapa efek akan muncul diantaranya hilangnya seluruh atau sebagian
fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah,
kontaminasi bakteri dan kematian sel (Kaplan & Hentz, 1992).
Vulnus
dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kontaminasinya dan penyebabnya.
Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa jenis vulnus diantaranya adalah vulnus excoriasi, vulnus punctum, vulnus
contussum, vulnus insivum, vulnus schlopetorum, vulnus morsum, vulnus
perforatum, vulnus amputatum, vulnus combustum, dan vulnus laceratum. Luka yang sering terjadi pada anjing salah
satunya adalah vulnus laceratum.
Vulnus
laceratum merupakan
terjadinya gangguan kontinuitas suatu jaringan sehingga terjadi pemisahan
jaringan yang semula normal, luka robek terjadi akibat kekerasan yang hebat
sehingga memutuskan jaringan. Secara umum vulnus
laceratum dapat dibagi menjadi dua yaitu simple bila hanya melibatkan
kulit, dan kompukatum, bila melibatkan kulit dan jaringan dibawahnya.
Penanganan yang dapat diberikan pada anjing
yang mengalami vulnus adalah dengan
metode operasi yang pada umumnya dengan menjahit atau menutup luka, sehingga
dapat mengurangi terjadinya infeksi dan dapat mempercepat kesembuhan. Tindakan
lainnya juga dapat diterapkan pada hewan yang mengalami vulnus adalah salah satu contohnya vulnus laceratum yang terjadi pada ekor anjing dapat dilakukan
dengan operasi tail docking untuk
mengurangi kontinuitas vulnus yang
dialami (Diesel et al., 2010). Tail docking atau caudectomy adalah amputasi atau pemotongan sebagian dari ekor
hewan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan ini untuk mengetahui
bagaimana cara penanganan kasus vulnus laceratum
serta penangan pasaca operasi pada anjing lokal.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan laporan ini diharapkan
dapat memberikan pengetahuan dan menambah keterampilan mahasiswa dalam
penanganan kasus vulnus laceratum pada anjing lokal.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Vulnus
Luka
atau vulnus adalah suatu
diskontinuitas jaringan yang abnormal, baik di dalam maupun pada permukaan
tubuh. Luka dapat terjadi karena trauma yang berasal dari luar atau berasal
dari dalam karena gesekan fragmen tulang yang patah, rusaknya kulit dari
infeksi atau tumor ganas (Ridhwan, 2002). Menurut Suriadi (2007), luka adalah
rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi
jaringan yang rusak atau hilang.
Menurut
Radosław (2012) Vulnus laceratum
adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping, biasanya
karena tarikan atau goresan benda tumpul. Vulnus
laceratum adalah luka yang terjadi akibat trauma oleh benda yang tidak
tajam, misalnya tepi meja, terkena bagian dari kendaraan bermotor dan sebagainya,
tapi tidak rata.
Menurut
Ismail (2009), berdasarkan kedalaman dan luas luka dibagi menjadi 4 stadium. Stadium
I yaitu jika luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. Stadium II jika luka
terjadi pada bagian lapisan kulit atau lapisan epidermis dan bagian atas dermis
yang ditandai dengan adanya tanda klinis berupa abrasi atau lubang yang
dangkal. Stadium III yaitu diskontinuitas keseluruhan kulit meliputi kerusakan
atau nekrosis jaringan subkutan namun tidak mengenai otot. Stadium IV yaitu
luka yang telah mencapai lapisan otot, tendon, dan tulang dengan adanya
destruksi atau kerusakan yang luas.
Menurut
Mansjoer (2008), penyembuhan luka dapat terjadi secara Primary Intention
Healing (penyembuhan luka primer), Secondary Intention Healing (penyembuhan
luka sekunder), Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier). Primary
Intention Healing (penyembuhan luka primer) adalah penyembuhan luka yang
terjadi setelah dilakukannya pertautan tepi luka yang biasanya dilakukan dengan
teknik penjahitan. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka
sekunder) adalah penyembuhan luka yang terjadi lebih lama karena biasanya luka
tetap dalam kondisi terbuka. Tertiary Intention Healing (penyembuhan
luka tertier) adalah luka yang dibiarkan tetap terbuka selama beberapa hari
setelah tindakan debridemen, setelah luka bersih maka dilakukan pertautan. Proses
penyembuhan luka pada umumnya terdiri dari 3 fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi, dan fase maturase (remodelling) (Nagori dan Solanki, 2011).
Berdasarkan
penyebabnya, terdapat beberapa jenis vulnus
diantaranya adalah vulnus excoriasi,
vulnus punctum, vulnus contussum, vulnus insivum, vulnus schlopetorum, vulnus
morsum, vulnus perforatum, vulnus amputatum, vulnus combustum, dan vulnus laceratum. Salah satu vulnus yang
terjadi pada seekor anjing adalah vulnus laceratum
atau luka robek.
2.2 Etiologi
Vulnus laceratum
adalah luka terbuka yang ditimbulkan oleh goresan benda sedikit tumpul atau
tidak terlalu tajam. Vulnus laceratum
dapat disebabkan oleh karena terjadi kekerasan, benda tumpul, goresan, jatuh,
kecelakaan sehingga kontinuitas jaringan terputus. Tepi luka berbentuk garis
tidak teratur dan jaringan kulit disekitar luka juga mengalami kerusakan (Junaidi,
2011).
2.3 Tanda Klinis
Tanda
klinis yang terlihat adalah adanya luka pada ekor bagian bawah dengan luka
robek yang menanah dan membusuk hingga terlihat tulang ekornya.
2.4 Diagnosis
Diagnosis
didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesa diketahui
bahwa anjing dipelihara dilepas di sekitaran rumah, depan rumah si pemilik
adalah jalan umum yang sering dilalui kendaraan bermotor. Hal ini memungkinkan bahwa
ekor anjing tersebut terlindas oleh kendaraan bermotor mengakibatkan terjadinya
vulnus laceratum. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya luka terbuka pada daerah ekor.
2.5 Prognosa
Pada
kasus vulnus laceratum prognosis
ditentukan dari tingkat keparahan yang ditimbulkan. Berdasarkan pemeriksaan
yang telah dilakukan, maka prognosis pada kasus vulnus laceratum pada anjing lokal ini adalah fausta. Hal tersebut
dikarenakan vulnus laceratum yang terjadi dapat dihilangkan dengan cara operasi
tail docking selain itu juga anjing
kasus merupakan anjing yang dengan umur muda sehingga proses penyembuhan dapat
berjalan dengan cepat (Fatmah, 2006).
2.6 Penanganan
Penanganan yang dilakukan untuk
meminimalisir kontinuitas dari vulnus
laceratum yang terjadi pada ekor anjing adalah dengan operasi tail docking. Caudectomy
atau tail docking (pemotongan
sebagian ekor), dimana pada umumnya dilakukan untuk keperluan komestika, namun
pada indikasi yang terjadi perubahan-perubahan akibat trauma, infeksi, tumor,
dan fistula perianal dapat dilakukan tail
docking atau caudectomy. Ekor harus
dipotong dari 2 sampai 3 cm dari batas normal dari jaringan jaringan ketika
menghilangkan tumor atau perubahan akibat dari trauma (Fossum, 2002).
BAB
III
MATERI
DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1
Hewan
A.
Anamnesa
Anjing
dipelihara dilepaskan di sekitar rumah. Menurut pemilik, anjing mengalami luka
pada bagian bawah ekor akibat terlindas oleh sebuah motor. Karena anjing tersebut kurang diperhatikan oleh
pemilik, maka ekor anjing yang mengalami luka tersebut semakin membesar,
menanah dan membusuk sampai terlihat tulang ekornya.
B.
Signalement Hewan
Nama
Pemilik : Chintya
Nama hewan : Juliard
Jenis hewan : Anjing
Ras/breed : Lokal
Warna rambut : Coklat
Jenis kelamin : Betina
Berat badan : 1 kg
Umur : 2 bulan
C.
Status Present
CRT :
<2 detik
Suhu :
38,80C
Frekuensi napas :
60
x/menit
Frekuensi jantung :
164 x/menit
Pulsus :
100 x/menit
3.1.2
Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan adalah stetoskop, pencukur rambut, termometer, scapel, mata
pisau, gunting, arteri clamp, needle holder, pinset, spuite, jarum
operasi (segitiga) dan Elizabeth collar. Bahan yang digunakan
adalah benang cat gut 3/0, benang silk 3/0, hipafix,
tampon, alkohol 70%, dan iodine.
Obat-obatan yang dipersiapkan adalah atropin sulfat, xilazin, dan ketamin.
Antibiotik yang digunakan Betamox LA dan enbatic powder obat
luar untuk proses pengeringan luka. Pemberian betametason sebagai anti
inflamasinya.
3.2 Metode
3.2.1
Pra Operasi
1.
Persiapan ruang operasi
Ruang
operasi dibersihkan dari kotoran dan meja operasi disterilisasi dengan alkohol
70%.
2. Persiapan alat
Sterilisasi
pada alat-alat bedah bertujuan untuk menghilangkan seluruh mikroba yang
terdapat pada alat-alat bedah, agar jaringan dan pembuluh darah tidak
terkontaminasi.
3.
Persiapan pasien
Persiapan pasien (hewan) dilakukan
anamnesa, pemeriksaan fisik secara lengkap meliputi pencatatan signalemen,
status present, serta fungsi sistem tubuh dari pasien. Pasien yang akan
dioperasi harus dipuasakan selama 12 jam. Daerah yang akan dioperasi dibersihkan
terlebih dahulu dengan mencukur rambut sekitar daerah operasi agar tidak
mengganggu proses operasi.
4.
Persiapan perlengkapan operator dan asisten.
3.2.2
Teknik Operasi
Teknik
operasi pada kasus vulnus laceratum adalah
sebagai berikut :
1.
Anjing
direstrain, dibersihkan dan diberikan antiseptik pada daerah yang akan
dioperasi. Kemudian dianastesi umum dan kulit pada ekor didorong ke depan
menuju pangkal ekor.
2.
Pemasangan
torniquet (karet gelang untuk membendung aliran darah) pada pangkal ekor untuk
mengurangi pendarahan.
3.
Kulit
ekor yang ditarik ke arah tubuh dibuat irisan
setengah lingkaran pada bagian dorsal
dan ventral dari ekor. Arteri caudalis lateralis kiri dan kanan dan
arteri caudalis mediana diikat.
4.
Ekor
dipotong di belakang ikatan pembuluh darah dengan menyisakan 3 ruas os coccygeal. Kulit dijahit dengan
benang non absorable secara simple interupted.
5.
Setelah selesai dijahit kemudian luka
kemudian diberi iodine dan ditaburi enbatic powder untuk selanjutnya ditutup
dengan menggunakan kasa steril untuk mengupayakan terjadinya kondisi ideal luka
supaya proses penyembuhan luka tidak mengalami gangguan (Umah dan Kurniawan,
2012).
6.
Anjing
dipasangkan Elizabeth
collar untuk mencegah anjing menggigit jahitan operasi.
3.2.3
Pasca Operasi
Setelah dilakukan pembedahan diberikan antibiotik untuk
mencegah terjadinya infeksi dengan memberikan antibiotik Betamox LA
secara intramuscular, salep betametason 1% secara topikal untuk anti radang, enbatic powder dan iodine pada jahitan.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil pemeriksaan keadaan pasien setelah
operasi selama satu minggu dan dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel
4.1. Tabel pengamatan post-operasi anjing kasus selama 7 hari
Pengamatan
(hari ke)
|
Hasil
|
Terapi
|
1 dan 2
|
Jahitan pada
ekor masih basah. Nafsu makan dan
minum normal.
Defekasi dan urinasi normal. Aktivitas menurun dan lemas.
|
Pemberian antibiotik
Betamox LA secara intramuskular, salep
betametason 1%,
dan enbatic powder dan iodine pada luka jahitan.
|
3
|
Jahitan pada ekor masih basah akan tetapi kulit ekor terlihat mulai
menyatu. Nafsu makan dan minum normal. Defekasi
dan urinasi normal. Aktivitas mengalami
peningkatan.
|
Pemberian salep betametason 1% secara topikal , dan enbatic powder dan iodine
pada luka jahitan.
|
4
|
Jahitan
sudah mengering namun kulit ekor belum menyatu sempurna.
Nafsu makan dan minum normal. Defekasi dan urinasi
normal.
Aktivitas sudah normal
|
Pemberian enbatic powder dan iodine pada luka jahitan.
|
5 dan 6
|
Jahitan sudah mengering dan kulit ekor
sudah menyatu. Nafsu makan dan minum normal. Defekasi dan urinasi normal. Aktivitas normal seperti biasanya.
|
Pemberian
enbatic powder dan iodine pada luka jahitan
|
7
|
Jahitan
sudah dilepas dan kulit ekor sudah menyatu.
Nafsu makan dan minum normal. Defekasi dan urinasi
normal.
Aktivitas normal seperti biasanya.
|
Pemberian
enbatic powder dan iodine pada luka jahitan
|
4.2 Pembahasan
Dari
hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik hewan didiagnosa mengalami vulnus laceratum pada daerah ekor. Luka yang terjadi bersifat
kronis, hal tersebut diketahui dari lama luka yang sudah berjalan 1 minggu. Hewan
kasus termasuk kedalam vulnus laceratum stadium IV, dikarenakan luka
robek yang dialami sangat parah dari kerusakan kulit sampai terlihat tulang,
hal ini sesuai dengan pernyataan Ismail (2009), bahwa keadaan kedalaman dan
luas luka pasien termasuk ke dalam Stadium IV yaitu luka yang telah mencapai
lapisan otot, tendon, dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang
luas sehinnga perlu diberikan penanganan bedah karena luka yang dalam dan lebar.
Tindakan pembedahan yang dilakukan yaitu operasi tail docking atau amputasi ekor agar tidak terjadi kontinuitas
luka, sehingga dapat mempercepat proses kesembuhan serta menghindari luka dari
kontaminasi.
Vulnus Laceratum pada Ekor Anjing Kasus |
Tail docking pada ekor yang mengalami vulnus laceratum |
Pada hari pertama diberikan antibiotik Betamox LA
0,1 ml secara intramuskular dan serbuk enbatic
powder pada daerah jahitan kemudian ditutup dengan kasa
steril dan leukoplas, selain itu diberikan juga salep betametason 1%. Betamox
LA yaitu antibiotik yang termasuk dalam golongan amoxicillin
inject. Amoxicillin adalah antibiotik penisilin bakterisidal yang memiliki
sprektum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Amoxicillin
mempunyai sprektum antibiotik serupa dengan ampisilin. Beberapa keuntungan
amoxicillin dibanding ampisilin adalah amoxicillin lebih cepat dan baik pada
saluran pencernaan tidak tergantung adanya makanan. Amoxiciliin dieksresikan
dalam bentuk tidak berubah di dalam urin (Ramadhani et al., 2012). Sedangkan pemberian salep betametason 1% adalah
bertujuan untuk meredakan peradangan atau pembengkakan yang terjadi pada daerah
operasi.
Setelah dilakukan operasi anjing
ditempatkan pada tempat yang kering dan bersih, dikandangkan dan dipakaikan Ellisabeth Collar. Pada hari pertama sampai hari ketiga, jahitan pada
ekor masih terlihat basah dan kulit ekor belum tampak menyatu. Nafsu makan dan
minum pasien sudah mulai normal. Defekasi dan urinasi anjing terpantau normal.
Mulai
dari hari keempat pasca operasi jahitan sudah tampak
mengering namun kulit ekor belum menyatu sempurna. Nafsu makan dan minum pasien tampak normal, defekasi dan urinasi normal. Pengobatan yang diberikan yaitu
pemberian enbatic powder dan iodine pada jahitan. Pada hari kelima dan keenam pasca operasi jahitan sudah mengering
dan kulit ekor sudah menyatu,
untuk pengobatannya yaitu dengan pemberian enbatic
powder dan iodine
pada jahitan. Pada hari ketujuh jahitan sudah dilepas dan kulit ekor sudah
menyatu. Nafsu makan dan minum dari pasien normal. Defekasi dan urinasi normal,
sedangkan aktivitas pasien normal seperti biasanya.
Pentingnya
memberikan antibiotik dan antiradang setelah operasi secara teratur sangat membantu proses
kesembuhan luka jahitan. Perawatan dan pengamatan juga perlu diperhatikan pasca
operasi seperti kebersihan kandang dan luka operasi yang perlu dijaga
kebersihannya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan
fisik anjing didiagnosa mengalami vulnus laceratum
pada bawah ekor. Penanganan yang dilakukan pada kasus ini dengan teknik operasi
tail docking (amputasi ekor). Tail docking dilakukan untuk
meminimalisir kontinuitas dari vulnus
laceratum yang terjadi. Hasil pengamatan pasca operasi menunjukkan bahwa vulnus laceratum yang dialami oleh
anjing sembuh dengan jahitan menutup pada hari ketujuh.
5.2 Saran
Diharapkan memberikan perhatian khusus
kepada hewan pasca operasi guna untuk mempercepat kesembuhan luka pada hewan. Untuk
mencegah terjadinya vulnus laceratum menjadi
kronis pada anjing diharapkan pemilik anjing perlu memperhatikan kondisi dari
hewan peliharaannya sehingga apabila terjadi trauma segera diambil tindakan
medis.
DAFTAR PUSTAKA
Diesel,
G., Pfeiffer, D., Crispin, S., Brodbelt, D. 2010. Risk factors for tail
injuries in Great Britain. Vet. Rec.
166:812-817.
Fatmah, 2006.
Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia
Lanjut. Makara, Kesehatan, Vol. 10 (1): 47-53
Fossum,
T.W., Hedlund, Hugle, D.A., Johnson, A.L., Willard, M.D. Carroll. 2002. Small
Animal Surgery. Mosby Singapore
Ismail. 2009.
Luka Bakar dan Perawatannya. Jakarta : Balai Pustaka
Junaidi. 2011.Pedoman
Pertolongan Pertama Yang Harus Dilakukan Saat Gawat Dan Darurat Medis.
Yogyakarta : Andi Offset
Kaplan, N.E., Hentz, V.R. 1992. Emergency management of skin and soft tissue wounds, an illustrated
guide, little brown. Boston : USA.
Mansjoer,
A. 2008. Kapita selekta kedokteran
edisi 3, jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Nagori, B.D., Solanki, R. 2011. Role Of Medicinal Plants In Wound Healing.
Research Journal of Medicinal Plant.
5(4):392-405.
Radosław. 2012. First
Aid In Cases Of Wounds, Fractures, As Well As Thermal And Chemical Burns.
Military Pharmacy and Medicine.Vol
2 : 15 – 24
Rahardjo,
P.2016. Laporan Kasus Vulnus Sclopetorum Pada Anjing Lokal.
Fakutas Kedokteran Hewan Universitas Udayana: Denpasar
Ramadhani, N.F., Ramadhani, Z.F., Hakhi,
R., Milati, A., Andiaty, E., dan Djen, N.R. 2012. Formulasi Amoxicillin Dry
Suspension. Referat. Universitas Isal Indonesia. Yogyakarta.
Ridhwan, I. 2002. Pengantar Ilmu Bedah
Umum Veteriner. Penerbit Syiah Kuala University Press, Darussalam Banda Aceh.
Setyarini, E.,
Putra, D., Purnawan, A. 2013. The Analysis Of Comparison Of Expert System Of
Diagnosing Dog. IJCSI International Journal of Computer Science Issues. 10 (2); 576-584.
Suriadi. 2007.
Manajemen Luka. STIKEP Muhammadiyah. Pontianak
Umah, K., dan Kurniawan, A. 2012.
Hidrogen Peroxida & NaCl 0,9% Mempercepat Penyembuhan Luka Pada Pasien Vulnus
Appertum. Journals of Ners Community.
3(2): 177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar