Sabtu, 12 Desember 2015

mikotoxin ( aflatoxin Aspergillus Flavus )

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Taraf hidup manusia yang semakin baik menyebabkan meningkatnya permintaan akan produk hewani. Namun hingga saat ini jaminan kualitas dan keamanan bahan pangan produk hewani belum mendapat perhatian secara proporsional. Pengertian keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologi maupun kimia yang dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Salah satu cemaran tersebut adalah aflatoksin yang timbul akibat ternak memakan pakan yang tercemar ataupun kondisi lingkungan yang tercemar. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan terutama oleh Aspergillus flavus. Aflatoksin BI (AFBI) bersifat hepatokarsinogenik yang akan menghasilkan metabolit-metabolit, diantaranya aflatoksin MI (AFM1) dan aflatoksikol (Ro) yang juga bersifat toksik, karsinogenik dan Inutagenik. AFM1 merupakan metabolit utama dari AFBI.
Aflatoksin pada pakan selain dapat mengakibatkan aflatoksikosis juga dapat menimbulkan residu pada produk ternak yang dihasilkannya. Aflatoksin beserta metabolitnya pada bahan pangan asal produk hewani juga membahayakan kesehatan manusia. Penelitian mengenai tingkat residu aflatoksin pada produk hewani yang telah dilaporkan di Indonesia, diantaranya adalah pada telur ayam, daging, hati ayam pedaging dan susu sapi.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami bahas dalam paper ini yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud Mikotoxin?
2.      Apa yang dimaksud Aflatoksin?
3.      Darimanakah pangan terkontaminasi Aflatoxin?
4.      Apakah efek Aflatoksin terhadap kesehatan?
5.      Bagaimanakah residu Aflatoxin pada susu?
6.      Bagaimana pencegahan masuknya Aflatoksin ke dalam tubuh?
       


1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk memenuhi tugas  mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner I. Juga untuk mengetahui dan memahami tentang etiologi, dampak, dan penanggulangan dari Aflatoxin
1.4  Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam pembuatan paper ini dengan menggunakan studi pustaka dari berbagai jurnal.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Mikotoksin
Mikotoksin adalah senyawaan toksik hasil metabolisme kapang-kapang tertentu yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Tingkat bahaya mikotoksin tergantung pada beberapa faktor seperti toksisitasnya, kepekaan individual, kadar maupun lamanya mengkonsumsi. Bersumber pada banyaknya laporan kasus penyakit pada ternak maupun manusia, sudah seharusnya kita lebih memperhatikan aspek keamanan pakan maupun pangan, terutama yang disebabkan oleh senyawa mikotoksin tertentu seperti Aspergillus sp, Fusarium sp, dan lain sebagainya. Mikotoksin dapat diproduksi oleh kapang yang hidup pada komoditas pertanian (field toxin, contoh : zearalenon dan deoksinivalenol) ataupun sebelum dan sesudah panen, selama transportasi dan penyimpanan (storage toxins, contoh: aflatoksin dan okratoksin). Umumnya, kapang-kapang tersebut tumbuh pada kisaran suhu 10 - 40°C, pH 4 - 8 dan kadar air 17 - 25%. Komoditas pertanian yang rusak dan mempunyai kadar air yang tinggi sangat mudah terinfeksi kapang. Mikotoksin banyak dijumpai mencemari bahan pangan dan pakan seperti jagung, sorgum, barley, wheat dan kacang-kacangan. Namun, keberadaan kapang toksigenik tidak selalu berkaitan dengan keberadaan mikotoksin. Hal ini karena, produksi mikotoksin dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien maupun faktor lingkungan. Lima jenis mikotoksin yang terpenting adalah aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, kelompok trikotesena dan fumonisin .

2.2 Pengertian Aflatoksin
Aflatoksin merupakan golongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Spesies penghasilnya adalah golongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) yang tumbuh pada kisaran suhu 10 - 43°C dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini.
Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara. Dari berbagai jenis aflatoksin, aflatoksin 131 (AFB1) paling mendapat banyak perhatian karena paling toksik dan bersifat karsinogenik, hepatotoksik dan mutagenik. Pada keracunan akut oleh aflatoksin, di hati terjadi kegagalan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesa protein, sehingga terjadi penurunan fungsi hati karena adanya perombakan pembekuan darah, icterus dan penurunan sintesis protein serum. Sementara itu, pada keracunan kronik akan menyebabkan imunosupresif yang diakibatkan penurunan akitivitas vitamin K dan penurunan aktivitas fagositas (phagocytic) pada makrofag. Setiap spesies hewan mempunyai kepekaan yang berbeda terhadap keracunan akut aflatoksin, dengan nilai LD50 yang bervariasi antara 0,3 hingga 17,9 mg/kg berat badan dan organ hati merupakan target utama yang terserang.
Gambar 1. Jagung dan kacang tanah yang ditumbuhi kapang Aspergillus


2.3 Kapang Penghasil Aflatoksin
Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus (Indrawati, 2006)
Aspergillus flavus merupakan spesies yang dikenal sebagai penghasil aflatoksin yang cukup besar, sedangkan A. parasiticus juga mampu memproduksi aflatoksin dengan jumlah yang hampir sama dengan A. flavus. Di daerah tropis, seperti halnya Indonesia yang paling berperanan adalah A. flavus. Secara umum, kapang ini berada pada daerah beriklim hangat, dan dapat ditemui pada iklim tropik dan subtropik, dan hanya sedikit saja pada daerah beriklim dingin. Senyawa aflatoksin terdiri atas empat jenis yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin B2 dan G2 merupakan turunan dari aflatoksin B1 dan G1. Dari hasil kristalisasi kedua jenis aflatoksin tersebut diperoleh rumus molekul aflatoksin tersebut yaitu C17H12O6 (aflatoksin B1) dan C17H12O7 (aflatoksin G1). Apabila aflatoksin B1 dikonsumsi oleh sapi, maka di dalam hati, aflatoksin B1 akan dimetabolisme oleh enzim hepatic microsomal cytochrome P450 menjadi aflatoksin M1 dan akan diekskresikan bersama dengan susu. Demikian pula dengan aflatoksin B2 akan menjadi M2. Dutton dan Heathcote menemukan suatu jenis aflatoksin yang telah mengalami hidroksilasi yang diisolasi dari kultur A. flavus. Kedua jenis aflatoksin ini merupakan turunan dari aflatoksin B2 dan G2 yang selanjutnya dinamakan aflatoksin B2a dan G2a, dan dinyatakan bersifat toksik.

 Gambar 1. Kapang Aspergillus flavus
2.4 Efek Aflatoksin Bagi Kesehatan
Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar dari pada mikotoksin lain karena memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi, dan/atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.


2.5 Residu Aflatoksin pada Susu
Susu merupakan bahan pangan bernilai gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kambing dan kuda, namun yang lazim dikonsumsi umumnya adalah susu yang berasal dari sapi. Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Susu mengandung protein, asam lemak, mineral, dan vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Manfaat susu bagi manusia antara lain menunjang pertumbuhan, mencegah osteoporosis, dan berbagai manfaat lain, sehingga baik dikonsumsi sepanjang usia. Untuk dapat dikonsumsi susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme baik patogen maupun non patogen dari lingkungan. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Gangguan kesehatan atau penyakit yang terjadi akibat mengonsumsi pangan yang mengandung mikroorganisme patogen dikenal dengan foodborne disease atau foodborne illness. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) dapat terjadi akibat intoksikasi makanan (food intoxication), infeksi makanan (food infection), dan toksikoinfeksi (toxicoinfection). Intoksikasi terjadi akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti toksin dari Clostridium botulinum, dan mikotoksin dari kapang.
Sapi perah yang mengonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan. Susu merupakan bahan pangan asal hewan yang potensial sebagai sumber masuknya AFM1 ke dalam rantai pangan manusia. Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang stabil pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses penyimpanan. Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan mencapai 250 °C, sehingga masih dapat ditemukan pada  susu pasteurisasi, susu ultra high temperature (UHT) , susu bubuk (Al‑Sawaf et al. 2012), dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004). Keberadaan AFM1 dalam susu dapat mengganggu kesehatan manusia terutama bagi anak-anak karena dapat menyebabkan kanker hati (hepatocelluler carcinoma).
International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan AFB1 dan AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia dalam grup 1 (carcinogenic to human). Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati dan kanker hati apabila dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus menerus. Oleh karena itu banyak negara yang membatasi konsentrasi maksimum kandungan AFM1 dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 0.5 ppb dan Uni Eropa sebesar 0.05 ppb. Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan produk olahan susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 yaitu 0.5 ppb.
Keberadaan AFM1 pada susu segar dari beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor dan Pangalengan (Kabupaten Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel) terdeteksi AFM1 dengan konsentrasi 0.001-1.2 ppb. Survey untuk mendeteksi AFM1 juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 57.5% konsentrasi AFM1 0.005-0.025 ppb .
Residu AFM1 dapat ditemukan pada susu akibat carry-over dari pakan. Tingkat carry-over AFM1 bervariasi bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Kontaminasi AFM1 pada susu dan produk susu dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Oliveira et al. (2013), kontaminasi AFM1 dipengaruhi oleh lokasi geografis, negara, musim, kondisi lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan, penggunaan pakan konsentrat yang berlebihan dan kontaminasi aflatoksin B1 pada pakan dan biji-bijian selama penyimpanan.
Dampak dari residu AFM1 dalam susu perlu diperhatikan walaupun berada di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan karena paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang sangat rendah dapat mengganggu kesehatan manusia.
Dosis dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti paparan aflatoksin dalam dosis tinggi mengakibatkan infeksi akut dan kematian akibat terjadinya sirosis hati. Paparan kronis aflatoksin dalam pangan merupakan risiko utama untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan heptoseluler karsinoma terutama di negara dimana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker hati merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka kejadian dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan 367 kasus (76%) berhubungan erat dengan sirosis hati, hepatitis B dan hepatitis C, sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang diduga karena karsinogen termasuk aflatoksin.
2.6 Pencegahan Masuknya Aflatoksin ke Dalam Tubuh
Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer).
Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik. Salah satu dari solusi ini adalah untuk memastikan bahwa makanan yang akan diolah tidak mengandung Aflatoksin. Para petani dan pengolah makanan dianjurkan untuk menguji bahan baku sebelum diolah menjadi makanan yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai contohnya, para petani jagung dianjurkan untuk menguji bibit dan jagungjagung yang sudah matang sebelum dijual kepasaran. Produsen makanan yang menggunakan jagung sebagai bahan pokok, seperti produsen tepung, dianjurkan untuk menguji bahan-bahan mereka sebelum bahan-bahan tersebut diproduksi menjadi barang yang siap dikonsumsi oleh masyarakat.
Keberadaan residu AFM1 dalam susu juga perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk pengendalian AFM1 dalam susu. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1 dalam produk susu ialah mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan konsentrat untuk sapi perah. Langkah pencegahan harus diterapkan untuk mengurangi kontaminasi dan pertumbuhan kapang serta pembentukan AFB1 pada komoditas pertanian yang digunakan untuk bahan baku pakan ternak. Pencegahan kapang dapat dilakukan dengan mempertahankan kelembaban yang rendah (kurang dari 14%), menjaga pakan tetap segar, menjaga peralatan tetap bersih dan menggunakan senyawa pencegah pertumbuhan kapang seperti asam propionat .


BAB III
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama suhu dan kelembaban. Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.
Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencernaan dan metabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Aflatoksin juga berperan dalam menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Pemanasan hingga 250ÂșC tidak efektif untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak dipengaruhi faktor kelembaban (minimun 7%) dan bertemperatur tinggi, daerah tropis merupakan tempat berkembangbiak paling ideal bagi kapang tersebut
Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama.


Kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
·         Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.
·         Penyakitnya tidak menular.
·         Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.
·         Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.
·         Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).
Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
3.2.   SARAN
Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik. Salah satu dari solusi ini adalah untuk memastikan bahwa makanan yang akan diolah tidak mengandung Aflatoksin. Para petani dan pengolah makanan dianjurkan untuk menguji bahan Baku sebelum diolah menjadi makanan yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Yang tak kalah penting adalah mencegah susu terkontaminasi dengan cara mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan konsentrat untuk sapi perah




DAFTAR PUSTAKA
Widiastuti, R. dkk. 2006. Residu Aflatoxin M1 pada Susu Sapi Segar di Pangalengan dan Bogor. Balai Penelitian Veteriner: Bogor.
Bommakanti, A.S., F. Waliyar. Importance of Aflatoxins in Human and Livestock Health. (http://www.icrisat.org/aflatoxin/health.asp)
William, J.H., et al. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure, potensial health consequences, and intervention. The American Journal of Clinical Nutrition. Vol. 80. No. 5, p. 1106-1122. (http://ajcn.org)

Mulunda, Mwanza. Et al. 2013. A Decade of Aflatoxin M1 Surveillance in Milk and Dairy Products in Developing Countries (2001-2011): A Review. (http://dx.doi.org/10.5772/53286) diakses 23 Oktober 2015

1 komentar:

  1. Klu kasus myrna sy lebih percaya aflatoxin karena kurang Dikenal dan jauh lebih berbahaya dr HCN

    BalasHapus