BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Taraf hidup manusia yang semakin baik menyebabkan meningkatnya permintaan
akan produk hewani. Namun hingga saat ini jaminan kualitas dan keamanan bahan
pangan produk hewani belum mendapat perhatian secara proporsional. Pengertian
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologi maupun kimia yang dapat mengganggu dan
membahayakan kesehatan manusia.
Salah
satu cemaran tersebut adalah aflatoksin yang timbul akibat ternak memakan pakan yang
tercemar ataupun kondisi lingkungan yang tercemar. Aflatoksin merupakan metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh cendawan terutama oleh Aspergillus flavus.
Aflatoksin BI (AFBI) bersifat hepatokarsinogenik yang akan menghasilkan metabolit-metabolit,
diantaranya aflatoksin MI (AFM1) dan aflatoksikol (Ro) yang juga bersifat toksik,
karsinogenik dan Inutagenik. AFM1 merupakan metabolit utama dari AFBI.
Aflatoksin pada pakan selain dapat mengakibatkan
aflatoksikosis juga dapat menimbulkan residu pada produk ternak yang
dihasilkannya. Aflatoksin
beserta metabolitnya pada bahan pangan asal produk hewani juga membahayakan
kesehatan manusia. Penelitian mengenai tingkat residu aflatoksin pada produk
hewani yang telah dilaporkan di Indonesia, diantaranya adalah pada telur ayam,
daging, hati ayam pedaging dan susu sapi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
yang kami bahas dalam paper ini yaitu:
1. Apakah
yang dimaksud Mikotoxin?
2. Apa
yang dimaksud Aflatoksin?
3. Darimanakah
pangan terkontaminasi Aflatoxin?
4. Apakah efek Aflatoksin terhadap kesehatan?
5. Bagaimanakah
residu Aflatoxin pada susu?
6. Bagaimana pencegahan masuknya Aflatoksin ke dalam
tubuh?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat
Veteriner I. Juga untuk mengetahui dan memahami tentang etiologi, dampak, dan
penanggulangan dari Aflatoxin
1.4 Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam pembuatan paper ini
dengan menggunakan studi pustaka dari berbagai jurnal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Mikotoksin
Mikotoksin adalah senyawaan toksik hasil metabolisme
kapang-kapang tertentu yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Tingkat bahaya
mikotoksin tergantung pada beberapa faktor seperti toksisitasnya, kepekaan individual, kadar maupun lamanya
mengkonsumsi.
Bersumber pada banyaknya laporan kasus penyakit pada ternak maupun manusia,
sudah seharusnya kita lebih memperhatikan aspek keamanan pakan maupun pangan, terutama yang disebabkan oleh senyawa
mikotoksin tertentu
seperti Aspergillus sp, Fusarium sp, dan lain sebagainya. Mikotoksin dapat diproduksi oleh
kapang yang hidup pada komoditas pertanian (field toxin, contoh : zearalenon
dan deoksinivalenol) ataupun sebelum dan sesudah panen, selama transportasi dan
penyimpanan (storage toxins, contoh: aflatoksin dan okratoksin). Umumnya,
kapang-kapang tersebut tumbuh pada kisaran suhu 10 - 40°C, pH 4 - 8 dan kadar
air 17 - 25%. Komoditas pertanian yang rusak dan mempunyai kadar air yang
tinggi sangat mudah terinfeksi kapang. Mikotoksin banyak dijumpai mencemari
bahan pangan dan pakan seperti jagung, sorgum, barley, wheat dan kacang-kacangan. Namun, keberadaan kapang toksigenik tidak
selalu berkaitan dengan keberadaan mikotoksin. Hal ini karena, produksi
mikotoksin dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien maupun faktor lingkungan. Lima jenis
mikotoksin yang terpenting adalah aflatoksin, okratoksin A, zearalenon,
kelompok trikotesena dan fumonisin .
2.2 Pengertian Aflatoksin
Aflatoksin
merupakan golongan senyawa toksik
(mikotoksin,
toksin yang berasal dari fungi)
yang dikenal mematikan dan karsinogenik
bagi manusia
dan hewan.
Spesies penghasilnya adalah golongan fungi
(jenis kapang)
dari genus
Aspergillus,
terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) yang tumbuh pada
kisaran suhu 10 - 43°C dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk
biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin
ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah,
kedelai,
pistacio,
atau bunga matahari), rempah-rempah
(seperti ketumbar,
jahe,
lada,
serta kunyit),
dan serealia
(seperti gandum,
padi,
sorgum,
dan jagung).
Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu
yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi
kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang
ini.
Praktis
semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada
kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban
(min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang
biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting
adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies,
sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2
ditemukan pada susu sapi
dan merupakan epoksida
yang menjadi senyawa antara.
Dari
berbagai jenis aflatoksin, aflatoksin 131 (AFB1) paling mendapat banyak
perhatian karena paling toksik dan bersifat karsinogenik, hepatotoksik dan
mutagenik. Pada
keracunan akut oleh aflatoksin, di hati terjadi kegagalan metabolisme
karbohidrat dan lemak serta
sintesa
protein, sehingga terjadi penurunan fungsi hati karena adanya perombakan
pembekuan darah, icterus dan penurunan sintesis protein serum. Sementara itu, pada keracunan kronik akan
menyebabkan imunosupresif yang diakibatkan penurunan akitivitas vitamin K dan
penurunan aktivitas fagositas (phagocytic) pada makrofag. Setiap spesies hewan mempunyai
kepekaan yang berbeda terhadap keracunan akut aflatoksin, dengan nilai LD50
yang bervariasi antara 0,3 hingga 17,9 mg/kg berat badan dan organ hati
merupakan target utama yang terserang.
Gambar
1. Jagung dan kacang tanah yang ditumbuhi kapang Aspergillus
2.3 Kapang Penghasil Aflatoksin
Gambar
1. Koloni Aspergillus flavus (Indrawati, 2006)
Aspergillus
flavus merupakan spesies yang dikenal sebagai penghasil aflatoksin yang
cukup besar, sedangkan A. parasiticus juga mampu memproduksi
aflatoksin dengan jumlah yang hampir sama dengan A. flavus. Di daerah
tropis, seperti halnya Indonesia yang paling berperanan adalah A. flavus.
Secara umum, kapang ini berada pada daerah beriklim hangat, dan dapat ditemui
pada iklim tropik dan subtropik, dan hanya sedikit saja pada daerah beriklim
dingin. Senyawa aflatoksin terdiri atas empat jenis yaitu aflatoksin B1, B2, G1
dan G2. Aflatoksin B2 dan G2
merupakan turunan dari aflatoksin B1 dan G1. Dari hasil kristalisasi kedua
jenis aflatoksin tersebut diperoleh rumus molekul aflatoksin tersebut yaitu C17H12O6
(aflatoksin B1) dan C17H12O7 (aflatoksin G1).
Apabila aflatoksin B1 dikonsumsi oleh sapi, maka di dalam hati, aflatoksin B1
akan dimetabolisme oleh enzim hepatic microsomal cytochrome P450 menjadi aflatoksin M1 dan
akan diekskresikan bersama dengan susu. Demikian
pula dengan aflatoksin B2 akan menjadi M2. Dutton dan Heathcote menemukan suatu
jenis aflatoksin yang telah mengalami hidroksilasi yang diisolasi dari kultur A.
flavus. Kedua jenis aflatoksin ini merupakan turunan dari aflatoksin B2
dan G2 yang selanjutnya dinamakan aflatoksin B2a dan G2a, dan dinyatakan
bersifat toksik.
Gambar 1. Kapang Aspergillus
flavus
2.4 Efek Aflatoksin
Bagi Kesehatan
Aflatoksin
mendapat perhatian yang lebih besar dari pada mikotoksin lain karena memiliki
potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut
terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan
nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem
kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut
aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga
mungkin dapat mengalami efek yang sama.
Pada
tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap
manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia
dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker
sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang
berhubungan dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi, dan/atau paparan bahan lain,
seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
2.5 Residu Aflatoksin pada Susu
Susu merupakan bahan pangan bernilai
gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi,
kerbau, kambing dan kuda, namun yang lazim dikonsumsi umumnya adalah susu yang
berasal dari sapi. Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan
gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Susu mengandung protein, asam
lemak, mineral, dan vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Manfaat susu bagi
manusia antara lain menunjang pertumbuhan, mencegah osteoporosis, dan berbagai
manfaat lain, sehingga baik dikonsumsi sepanjang usia. Untuk dapat dikonsumsi
susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan karena susu mudah
terkontaminasi oleh mikroorganisme baik patogen maupun non patogen dari
lingkungan. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 keamanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Gangguan kesehatan atau penyakit
yang terjadi akibat mengonsumsi pangan yang mengandung mikroorganisme patogen
dikenal dengan foodborne disease atau foodborne illness. Penyakit
yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) dapat terjadi
akibat intoksikasi makanan (food intoxication), infeksi makanan (food
infection), dan toksikoinfeksi (toxicoinfection). Intoksikasi terjadi akibat mengkonsumsi pangan
yang mengandung toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme seperti toksin dari Clostridium
botulinum, dan mikotoksin dari kapang.
Sapi perah yang mengonsumsi pakan
yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit
hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan. Susu merupakan bahan pangan asal
hewan yang potensial sebagai sumber masuknya AFM1 ke dalam rantai pangan
manusia. Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang
stabil pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses
penyimpanan. Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan mencapai 250 °C,
sehingga masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi, susu ultra high
temperature (UHT) , susu bubuk (Al‑Sawaf et al. 2012), dan keju
(Sarimehmetoglu et al. 2004). Keberadaan AFM1 dalam susu dapat
mengganggu kesehatan manusia terutama bagi anak-anak karena dapat menyebabkan
kanker hati (hepatocelluler carcinoma).
International Agency for Research on
Cancer (IARC)
mengklasifikasikan AFB1 dan AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia dalam
grup 1 (carcinogenic to human). Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan
hati dan kanker hati apabila dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus
menerus. Oleh karena itu banyak negara yang membatasi konsentrasi
maksimum kandungan AFM1 dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 0.5
ppb dan Uni Eropa sebesar 0.05 ppb. Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan produk olahan
susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 dan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.06.1.52.4011 yaitu 0.5
ppb.
Keberadaan AFM1 pada susu segar dari
beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan dengan konsentrasi yang
bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor
dan Pangalengan (Kabupaten Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel)
terdeteksi AFM1 dengan konsentrasi 0.001-1.2 ppb. Survey untuk mendeteksi AFM1
juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar yang berasal dari peternakan
sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 57.5% konsentrasi AFM1 0.005-0.025 ppb .
Residu AFM1 dapat ditemukan pada
susu akibat carry-over dari pakan. Tingkat carry-over AFM1
bervariasi bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Kontaminasi AFM1 pada
susu dan produk susu dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Oliveira et al. (2013), kontaminasi AFM1 dipengaruhi oleh lokasi
geografis, negara, musim, kondisi lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan,
penggunaan pakan konsentrat yang berlebihan dan kontaminasi aflatoksin B1 pada
pakan dan biji-bijian selama penyimpanan.
Dampak dari residu AFM1 dalam susu
perlu diperhatikan walaupun berada di bawah batas maksimum residu yang telah
ditetapkan karena paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang
sangat rendah dapat mengganggu kesehatan manusia.
Dosis dan durasi paparan aflatoksin
sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti paparan aflatoksin dalam
dosis
tinggi mengakibatkan infeksi akut dan kematian akibat terjadinya sirosis hati.
Paparan kronis aflatoksin dalam pangan merupakan risiko utama untuk terjadinya
gangguan imunitas, malnutrisi dan heptoseluler karsinoma terutama di negara
dimana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker hati
merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka kejadian
dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan 367
kasus (76%) berhubungan erat dengan sirosis hati, hepatitis B dan hepatitis C,
sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang diduga karena
karsinogen termasuk aflatoksin.
2.6 Pencegahan Masuknya Aflatoksin ke Dalam Tubuh
Produksi
pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat
meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran
mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya
di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan
di freezer).
Untuk mengurangi
masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika
konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain
dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah
warna, telah berubah rasa atau tengik. Salah satu dari solusi ini adalah untuk memastikan bahwa makanan yang akan diolah tidak mengandung Aflatoksin. Para
petani dan pengolah makanan dianjurkan untuk menguji bahan baku sebelum diolah menjadi makanan
yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai contohnya, para petani jagung
dianjurkan untuk menguji bibit dan jagung‐jagung
yang sudah matang sebelum dijual kepasaran. Produsen makanan yang menggunakan
jagung sebagai bahan pokok, seperti produsen tepung, dianjurkan untuk menguji
bahan-bahan mereka sebelum bahan-bahan tersebut diproduksi menjadi barang yang siap
dikonsumsi oleh masyarakat.
Keberadaan residu AFM1 dalam susu juga perlu diperhatikan karena dapat
mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk
pengendalian AFM1 dalam susu. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1
dalam produk susu ialah
mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan konsentrat untuk sapi perah.
Langkah pencegahan harus diterapkan untuk mengurangi kontaminasi dan
pertumbuhan kapang serta pembentukan AFB1 pada komoditas pertanian yang
digunakan untuk bahan baku pakan ternak. Pencegahan kapang dapat dilakukan
dengan mempertahankan kelembaban yang rendah (kurang dari 14%), menjaga pakan
tetap segar, menjaga peralatan tetap bersih dan menggunakan senyawa pencegah
pertumbuhan kapang seperti asam propionat .
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Aflatoksin
merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca,
terutama suhu dan kelembaban. Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu
aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2
hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk
ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan
dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang
dapat diekskresikan dalam susu dan urin.
Aflatoksin
dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencernaan dan
metabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin
pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Aflatoksin juga berperan dalam
menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu
sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Pemanasan hingga 250ÂșC tidak
efektif untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini. Akibatnya bahan pangan
yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Kapang ini
biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak dipengaruhi faktor kelembaban
(minimun 7%) dan bertemperatur tinggi, daerah tropis merupakan tempat
berkembangbiak paling ideal bagi kapang tersebut
Pada
sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis,
dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak
ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu
sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek
yang sama.
Kasus
aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak
selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi
aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik
sebagai berikut:
·
Penyebab penyakit tidak dapat segera
teridentifikasi.
·
Penyakitnya tidak menular.
·
Penyebab penyakit diduga diakibatkan
oleh jenis pangan tertentu.
·
Pemberian antibiotik atau obat lainnya
hanya memberikan sedikit pengaruh.
·
Kejadiannya bersifat musiman (kondisi
cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).
Efek
berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada
manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut
(jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
3.2.
SARAN
Untuk mengurangi masuknya
aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen
bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan
menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah
berubah rasa atau tengik. Salah satu dari solusi ini adalah untuk memastikan bahwa makanan yang akan diolah tidak mengandung Aflatoksin. Para
petani dan pengolah makanan dianjurkan untuk menguji bahan Baku sebelum diolah
menjadi makanan yang siap dikonsumsi oleh masyarakat. Yang tak
kalah penting adalah mencegah susu terkontaminasi dengan cara mengurangi
kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan konsentrat untuk sapi perah
DAFTAR PUSTAKA
Widiastuti, R. dkk. 2006. Residu Aflatoxin M1 pada Susu Sapi Segar di Pangalengan dan Bogor. Balai Penelitian Veteriner: Bogor.
Bommakanti,
A.S., F. Waliyar. Importance of
Aflatoxins in Human and Livestock Health. (http://www.icrisat.org/aflatoxin/health.asp)
William,
J.H., et al. 2004. Human
aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure,
potensial health consequences, and intervention. The American Journal of Clinical Nutrition. Vol. 80. No. 5, p.
1106-1122. (http://ajcn.org)
Mulunda, Mwanza. Et al. 2013. A Decade of Aflatoxin M1
Surveillance in Milk and Dairy Products in Developing Countries (2001-2011): A
Review. (http://dx.doi.org/10.5772/53286) diakses 23
Oktober 2015
Klu kasus myrna sy lebih percaya aflatoxin karena kurang Dikenal dan jauh lebih berbahaya dr HCN
BalasHapus