BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar
dan membatasinya dari lingkungan hidup makhluk hidup. Kulit merupakan organ
yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit
juga sangat kompleks, elastic dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur,
jenis kelamin, ras dan juga sangat bergantung pada lokasi tubuh. Pada zaman
sekarang ini, dengan berkembangnya kebudayaan dan perubahan tatanan hidup dari
waktu ke waktu, sedikit banyak mempengaruhi pola penyakit. Begitu pula kemajuan
dibidang sosial ekonomi dan teknologi kedokteran dapat mengubah arti penyakit
jamur, yang dahulunya tidak berarti menjadi berarti dalam kehidupan manusia sekarang
ini. Penyakit kulit di Indonesia pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh
infeksi bakteri, jamur, virus, parasit, dan penyakit dasar alergi, hal ini
berbeda dengan negara barat yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
degeratif. Maka dari itu kami menulis penyakit infeksi yang disebabkan oleh
jamur yaitu dermatofitosis.
Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis
superfisialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi
pejamu terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme
pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit,
yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel,
serta terbentuknya respon pejamu. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit
kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan
dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan
identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan
sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi
Dermatofitosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal
terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang,
faktor lingkungan dan agen penyebab.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalahnya yaitu:
1.
Apa pengertian dermatofitosis ?
2.
Bagaimana etiologi dari dermatofitosis ?
3.
Bagaimana pathogenesa terjadinya dermatofitosis ?
4.
Apa saja gejala klinis dari dermatofitosis?
5.
Bagaimana cara mendiagnosa dermatofitosis ?
6.
Bagaimana cara pengobatan dan pencegahaanya ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan dari penulisan karya ilmiah ini yaitu untuk mengetahui etiologi ,
pathogenesa, gejala klinis, cara mendiagnosa dan cara pengobatan serta pencegahan
dari dermatofitosis.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Agar
pembaca lebih memahami dan lebih mengetahui tentang penyakit kulit terutama
penyakit dermatofitosis. Dan bisa menjadi acuan untuk memberikan informasi
kepada masyarakt luas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ETIOLOGI
Dermatofitosis
adalah infeksi oleh cendawan pada bagian kutan/superfisial atau bagian dari
jaringan lain yang mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk). Trichopyton
spp dan Microsporum spp, merupakan 2 jenis kapang yang menjadi
penyebab utama ringworm pada hewan. Di Indonesia yang menonjol diserang adalah
anjing, kucing dan sapi.
Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu sekelompok cendawan dari genus Epidermophyton, Microsporum dan Trichophyton. Cendawan dermatofit penyebab ringworm menurut taksonomi tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes (Ahmad., R.Z. 2009).
Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu sekelompok cendawan dari genus Epidermophyton, Microsporum dan Trichophyton. Cendawan dermatofit penyebab ringworm menurut taksonomi tergolong fungi imperfekti (Deuteromycetes), karena pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes (Ahmad., R.Z. 2009).
Divisi
: Amastigomycotina.
Sub-Divisi
: Ascomycotina
Klas
: Deuteromycetes
Ordo
: Moniliales
Family
: Moniliaceae
Genus
: Microsporum, Trichophyton
Species
: M. canis, M. gypseum, T.mentagrophytes
M.
canis bersifat ectothrix dan zoofilik yang terdapat pada
kucing, anjing, kuda, dan kelinci, gambaran mikroskopis dari kultur adalah
macroconidia berbentuk spindle, berdinding tebal dan kasar. Microconidia
berbentuk clubbing dan berdnding halus, sedangkan M. gypseum bersifat ectothrix
dan geofilik. Gambaran makroskopisnya macroconidia berbentuk spindle, dinding
tipis 3-6 septa, dan microconidianya sedikit dan berbentuk clubbing
(Pohan., A. 2009).
2.2 PATHOGENESA
Sebaran
geografis keberadaannya cukup luas, namun penyakit ini lebih banyak ditemukan
di daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama daerah dengan kondisi udara
panas dan kelembaban yang tinggi. Kemudian pada daerah yang mempunyai empat
musim, setelah periode multiplikasi kapang pada bulu selama musim panas.
Penyebaran infeksi dapat terjadi karena luka, bekas luka atau patahan bulu
untuk melangsungkan hidupnya. Dapat tumbuh pada lingkungan kering, dingin,
aerobik serta tanpa mikroorganisme lain dan terlindung dari sinar
matahari. Di negara-negara yang beriklim
subtropik atau dingin, kejadian ringworm lebih sering, karena dalam bulan-bulan
musim dingin, hewan-hewan selain kurang menerima sinar matahari secara
langsung, juga sering bersama-sama di kandang, sehingga kontak langsung di
antara sesama individu lebih banyak terjadi. Cara penularan jamur dapat secara
langsung dan secara tidak langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis,
epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang atau
dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi
jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Disamping cara penularan
tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di kulit tergantung dari
beberapa faktor seperti faktor virulensi dari dermatofita, faktor trauma, kulit
yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, factor suhu dan kelembaban, kurangnya
kebersihan dan faktor umur dan jenis kelamin (Ahmad., R.Z. 2009).
2.3 GEJALA KLINIS
Adapun
gejala klinis dari penyakit dermatofitosis:
- Kerusakan
bulu di seluruh muka, hidung dan telinga
- Perubahan
yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau cincin dengan batas jelas dan
umumnya dijumpai di daerah leher, muka terutama sekitar mulut, pada kaki
dan perut bagian bawah
- Selanjutnya
terjadi keropeng, lepuh dan kerak, dan dibagian keropeng biasanya bagian
tengahnya kurang aktif, sedangkan pertumbuhan aktif terdapat pada bulu
berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah (Ahmad., R.Z. 2009).
- Umumnya
gejala-gejala klinik yang ditimbulkan oleh golongan geofilik pada manusia
bersifat akut dan sedang dan lebih mudah sembuh.
- Dermatofita
yang antropofilik terutama menyerang manusia, karena memilih manusia
sebagai hospes tetapnya.
- Golongan
jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan
residif, karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan.
- Contoh
jamur yang antropofilik ialah: Mikrosporon audoinii Trikofiton rubrum.
(Boel., T. 2009).
2.4 DIAGNOSA KLINIK
Untuk
mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel kerokan kulit,
serpihan kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan Wood light, atau
pemeriksaan langsung dengan mikroskop dengan KOH, atau pewarnaan, atau dengan
membuat biakan pada media. Penyakit ini dapat dikelirukan dengan lesi yang
diperlihatkan seperti gigitan serangga, urtikaria, infeksi bakteri dan
dermatitis lainnya, namun dengan adanya bentuk cincin pada derah yang
terinfeksi dan peneguhan diagnose dengan pemeriksaan laboratorium akan
memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit (Ahmad., R.Z. 2009).
2.5
PENGOBATAN
Hewan yang
positif terinfeksi dermatofitos akan diberikan therapi obat-obatan
antifungal/antijamur secara topical (obat-obatan luar) maupun obat-obatan
secara peroral (obat-obatan yang diberikan melalui mulut). Apabila hewan tidak
segera mendapatkan pengobatan dan infeksinya dibiarkan berlarut-larut maka akan
menyebabkan si hewan kehilangan nutrisinya yang ditandai dengan kekurusan
karena jamur dermatofita melalui penyakit ini mampu menyerap nutrisi dalam
tubuh hewan yang terinfeksi, selain itu kondisi kekurangan nutrisi ini juga
bisa mengundang penyakit yang lain sehingga anjing mudah mengalami infeksi
sekunder atau infeksi kedua oleh bakteri atau penyakit-penyakit lainnya.
Terdapat 5
kelompok macam obat dengan berbagai cara dapat dipakai untuk menghilangkan
dermatofit, yaitu: (1). Iritan, dilakukan untuk membuat reaksi radang sehingga
tidak terjadi infeksi dermatofit; (2). Keratolitik, digunakan untuk menghilangkan
dermatofit yang hidup pada stratum korneum; (3) Fungisidal, secara langsung
merusak dan membunuh dermatofit; (4). Perubah. Merubah dari stadium aktif
menjadi tidak aktif pada rambut.
Pengobatan dapat
dilakukan secara sistemik dan topikal. Secara sistemik dengan preparat
Griseofulvin, Natamycin, dan azole peroral maupun intravena dengan cara topikal
menggunakan fungisida topikal dengan berulang kali, setelah itu kulit hewan
penderita tersebut disikat sampai keraknya bersih; setelah itu dioles atau
digosok pada tempat yang terinfeksi. Selain itu, dapat pula dengan obat
tradisional seperti daun ketepeng (Cassia alata), Euphorbia prostate dan E.
thyophylia (Ahmad., R.Z. 2009).
2.6
PENCEGAHAN
Pencegahan yang
dapat dilakukan adalah sanitasi kesehatan, lingkungan maupun hewannya. Salah
satu cara yang efektif untuk penanggulangan adalah mencegah penyebaran sehingga
tidak terjadi endemik, peningkatkan masalah kebersihan, perbaikan gizi dan tata
laksana pemeliharaan. Hewan harus terawat dengan cara memandikan secara
teratur, pemberian makanan yang sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk
anjing. Vaksinasi adalah pencegahan yang baik. Dan di Indonesia pemakaian
vaksin dermatofit belum dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad.,
R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Boel., T. 2009. Mikosis superficial. Fakultas kedoteran gigi. Universitas Sumatera Utara.
Pohan., A. 2009. Bahan Kuliah Mikologi. arthur@fk.unair.ac.id.
Boel., T. 2009. Mikosis superficial. Fakultas kedoteran gigi. Universitas Sumatera Utara.
Pohan., A. 2009. Bahan Kuliah Mikologi. arthur@fk.unair.ac.id.
Kurniati, Cita Rosita SP Dept./SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.FK UNAIR/RSU Dr.
Soetomo Surabaya. BIKKK_vol 20 no 3_des
2008_Acc_3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar