Senin, 09 Maret 2015

Cryptosporidiosis pada hewan adalah


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Cryptosporidiosis merupakan suatu infeksi usus halus yang disebabkan oleh Cryptosporidium sp..Cryptosporidium sp. merupakan salah satu protozoa yang termasuk dalam waterborne disease (penyakit yang ditularkan melalui perantara air). Cryptosporidium sp. dikenal sebagai penyakit parasit obligat seluler dan bersifat sangat patogen serta dapat menyerang sel epitel saluran pencernaan, saluran empedu dan saluran pernapasan hewan dan manusia.
Cryptosporidium sp. dapat menyerang lebih dari 45 spesies vertebrata termasuk unggas dan burung, ikan, reptil, mamalia kecil (tikus, kucing, anjing) dan mamalia besar (terutama sapi dan biri-biri), Cryptosporidium menyebabkan diare pada mamalia dan bersifat zoonosis terhadap manusia.
Bagi peternak dapat menyebabkan kerugian berupa peningkatan biaya pengobatan dan perawatan untuk ternak yang terkena Cryptosporidiosis. Tindakan yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan agar tidak terkena Cryptosporidiosis adalah dengan lebih memperhatikan sanitasi peralatan dan kandang serta manajemen ternak.
Penyebaran penyakit Cryptosporidiosis sangat luas dengan vertebrata sebagai inangnya. Parasit keluar bersama fesesdan dapat mencemari lingkungan dalam bentuk ookista.







1.2 RUMUSAN MASALAH
1.                  Apakah etiologi dari penyakit Cryptosporidiosis?
2.                  Bagaimanakah morfologi dari Cryptosporidium sp.?
3.                  Bagaimanakah epidemiologi dari Cryptosporidium sp.?
4.                  Bagaimanakah siklus hidup Cryptosporidium sp.?
5.                  Bagaimanakah cara penularan dari Cryptosporidium sp.?
6.                  Bagaimanakah gejala dan tanda klinis jika hewan terjangkit penyakit Cryptosporidiosis?
7.                  Bagaimanakah cara mendiagnosa penyakit Cryptosporidiosis?
8.                  Apakah tindakan ( pencegahan dan pengobatan ) agar hewan terbebas dari penyakit Cryptosporidiosis?



BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT TULISAN

2.1    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1.                  Untuk dapat memenuhi mata tugas mata kuliah Parasitologi Veteriner II
2.                  Agar dapat mengetahui etiologi dari penyakit Cryptosporidiosis
3.                  Agar dapat mengetahui morfologi dari Cryptosporidium sp.
4.                  Agar dapat mengetahui epidemiologi dari Cryptosporidium sp.
5.                  Agar dapat mengetahui siklus hidup dari Cryptosporidium sp.
6.                  Agar dapat mengetahui cara penularan dari Cryptosporidium sp.
7.                  Agar dapat mengetahui gejala dan tanda klinis yang ditimbulkan jika hewan terjangkit penyakit Cryptosporidiosis
8.                  Agar dapat mengetahui cara mendiagnosa penyakit Cryptosporidiosis
9.                  Agar dapat mengetahui tindakan ( pencegahan dan pengobatan ) yang dapat dilakukan agar hewan terbebas dari penyakit Cryptosporidiosis

2.2    Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan karya ini adalah sebagai berikut.
1.   Bagi penulis, dapat lebih memahami penyakit Cryptosporidiosis pada hewan.
2.   Bagi masyarakat umum, sebagai bahan informasi dan sumber bacaan mengenai parasit Cryptosporidium sp. yang menyebabkan penyakit Cryptosporidiosis.






BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ETIOLOGI
Cryptosporidium adalah protozoa patogen dari divisi Apicomplexa dan menyebabkan penyakit diare yang disebut cryptosporidiosis. Genus dari Cryptosporidium sp.dicirikan dalam bentuk ookista. Ookista matang mengandung 4 sporokista. Ookista Cryptosporidium sp.berbentuk bundar dan berdinding tebal dengan diameter 1,5 – 5 µm. Sporulasi ookista menghasilkan 4 sporozoit yang memanjang. Taksonomi dari Cryptosporidium sp.yaitu sebagai berikut:

Filum               : Ampicomplexa
Kelas               : Sporozoasida
Subkelas          : Coccidiasina
Ordo                : Eucoccidiorida
Subordo          : Eimeriorina
Famili              : Cryptosporidiidae
Genus              : Cryptosporidium









Gambar 1. Ookista dari Cryptosporidium sp.menggunakan pewarnaan safranin (kiri) dan dengan immunofluorescent antibodies (kanan)

Spesies dari Cryptosporidium sp.yang patogen pada manusia adalah Cryptosporidium parvum. Protozoa ini merupakan subkelas Coccidia yang menyebabkan penyakit pada manusia. Meskipun parasit ini bersifat intraseluler tetapi banyak juga ditemukan di bawah membran terluar yang melapisi permukaan sel pada lambung dan usus halus. Cryptosporidium sp.terdiri atas berbagai spesies diantaranya dapat dilihat pada Tabel 1.






Tabel 1. Daftar Spesies dari genus Cryptosporidium sp..

Penyebaran dari ookista Cryptosporidium parvum dipengaruhi oleh sifat biologi yang dimiliknyai. Ookista Cryptosporidium sp.cukup tahan pada kondisi lembab. Ookista Cryptosporidium sp.tahan di lingkungan akibat morfologi dindingnya cukup tebal yang menyebabkan tetap tahan di alam sehingga dikenal dengan hidden spore atau underground spore. Selain itu, ookista Cryptosporidium sp.juga sangat tahan terhadap disinfektan termasuk pengapuran dan klorinasi air, tetapi dapat mati pada temperatur 65 °C selama 20 – 30 menit dan melalui proses pengeringan serta dengan menggunakan sodium hipoklorit 5% atau amonia 5% -10%.

3.2 MORFOLOGI
Cryptosporidium sp. terdiri dari banyak spesies tapi yang paling pathogen yaitu Cryptosporidium parvum yang menyebabkan diare kronis dan muntah
menyebabkan diare (kebanyakan kronis). Dalam siklus hidupnya Cryptosporidium sp. mengalami beberapa kali perubahan bentuk (Stadium).
Berikut ini ciri morfologi :
1.      Sporozoit mempunyai bentuk seperti pisang dimana bagian anteriornya meruncing dan bagian posteriornya membulat.
2.      Gametosit dan skizon ukuran 2-4 mikro meter diproduksi dalam siklus hidupCryptosporidium parvum ,tapi jarang ditemukan pada feses.
3.      Ookista Biasanya berbentuk bulat, berdiameter 4 - 6 um mengandung 4 sporozit yang tidak terlalu terlihat,refraktil, terdiri 1-8 granula yang menonjol dan dilapisi dua dinding tebal. Ookista resisten dan sangat resisten terhadap proses klorinasi tapi dapat mati dengan teknik pemasakan konvensional.





Gambar 2. Ookista dari Cryptosporidium sp.
3.3  EPIDEMIOLOGI
Cryptosporidiosis merupakan penyakit endemic yang hampir terjadi di seluruh dunia terutama pada negara-negara berkembang yang lingkungan sanitasinya kurang baik. Ookista dari Cryptosporidium sp. mudah ditemukan di lingkungan yang lembab terutama disekitaran air permukaan. Faktor lingkungan sangat berperan penting dalam terjadinya infeksi pada berbagai tingkat umur hewan. Keadaan lingkungan daerah dataran rendah dan dataran tinggi menyebabkan perkembangan Cryptosporidium sp. yang berbeda. Hal ini dilihat dari contoh tingkat prevalensi pada sapi bali, dimana prevalensi dataran tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah (tabel 2).





Tabel 2. Asosiasi Cryptosporidiosis pada daerah dataran rendah dan dataran tinggi
Bisa dikatakan bahwa resiko dataran tinggi terhadap Cryptosporidiosis kejadiannya 1,67 kali dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Kejadian Cryptosporidiosis ini sangat erat hubungannya dengan kondisi daerah. Cryptosporidiosis lebih tinggi pada periode musim dingin daripada musim panas (CHAI et al., 1996 dalam RAN YU et al., 2004).
Kecamatan Selat dan Sidemen merupakan daerah dataran tinggi memiliki kelembaban berkisar 6585%, suhu lingkungan 24–32°C. Curah hujan cukup tinggi merupakan kondisi sesuai untuk berkembang  dan menyebarnya C. parvum.
Kecamatan Karangasem dan Manggis merupakan dataran rendah dengan kelembaban 5565%, suhu lingkungan 28–33°C. Dataran rendah ini merupakan kondisi yang kurang mendukung perkembangan protozoa karena daerahnya kering dan musim  panas yang lebih lama dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Ookista C. parvum penyebarannya dipengaruhi pula oleh sifat biologi yang dimiliki. Ookista cukup tahan pada kondisi lembab morfologi dindingnya cukup tebal, yang menyebabkan tetap tahan di alam sehingga dikenal dengan hidden spore atau underground spore (UPTON, 2004).

3.4 SIKLUS HIDUP
Tahap infeksi dari protozoa ini adalah ookista dengan ukuran 5-7µm, yang tahan terhadap kondisi lingkungan. Infeksi terjadi karena ookista masuk dan teringesti ke induk semang yang cocok. Ookista melakukan eksitasi dan mengeluarkan sporozoit infektif yang akan menjadi parasit pada sel epitel terutama dalam saluran pencernaan inang.








Gambar 3. siklus hidup Cryptosporidium sp.
Ookista yang telah mengalami sporulasi, terdiri dari 4 sporozoit, dikeluarkan melalui feses organisme yang terinfeksi dan mungkin mengalami rute yang lain seperti melalui sekresi saluran pernafasan (1). Transmisi dari Cryptosporidium sp. umumnya terjadi melalui kontak dengan air yang telah terkontaminasi.
Setelah tertelan (dan mungkin terhirup) oleh hospes (3) eksistasi terjadi (a). Empat sporozoit dikeluarkan dari tiap ookista,menembus epithelial (b,c) usus dan jaringan lain seperti saluran pernafasan. Sporozoid akan berkembang menjadi tropozoit. Kemudian mengalami multiplikasi aseksual (skizogoni atau merogoni) (d,e) yang menghasilkan meront tipe I.
Merozoit yang dihasilkan meront tipe I dapat mereinfaksi sel dan mengulang kembali siklus asekseual atau menginfeksi sel dan berkembang menjadi meront tipe II (f). Tiap meron tipe II akan membesaskan 4 merozoit. Diyakini hanya merozoit tipe II inilah yang mengalami multiplikasi seksual (gametogoni) menghasilkan mikrogametosit(g) dan makrogametosit(h). Mikrogamet keluar dari mikrogametosit akan membuahi makrogamet yang keluar dari makrogametosit dan menghasilkan zigot (i). Sekitar 80% zigot akan berkembang menjadi ookista berdinding tebal (j) dan 20% zigot berkembang menjadi ookista berdinding tipis (k).
Ookista akan bersporulasi (berkembang menjadi sporozoit yang infektif). Keluarnya sporozoit dari ookista yang berdinding tipis akan menyebabkan autoinfeksi. Sementara ookista berdinding tebal akan keluar melalui feses dan apabila tertelan akan segera menginfeksi.
3.5 CARA PENULARAN

Cara penularan Cryptosporidium umumnya terjadi melalui air, tanah, makanan, dan infeksi dari hewan terutama melalui fesesnya yang sudah terkontaminasi oleh ookista dari Cryptosporidium sp.. Faktor penyebab paling tinggi terhadap penyakit Cryptosporidiosis adalah ternak yang diberikan air minum yang airnya tersebut diambil dari sungai. Dimana biasanya peternak akan mengandangkan ternaknya tersebut di dekat sungai untuk mempermudah mendapatkan air untuk membersihkan kandangnya sehingga pada saat peternak tersebut membersihkan kandang dengan feses ternak yang terinfeksi Cryptosporidium sp.  maka bekas-bekas pembersihan tersebut mengikuti aliran sungai dan ketika ada hewan yang meminum air di sungai itu, hewan tersebut akan terinfeksi.
Penyakit ini bersifat zoonosis disebabkan karena Cryptosporidium sp. memiliki bermacam-macam reservoar seperti unggas, ikan, reptile, mamalia kecil ( tikus,kucing, anjing) dan mamalia besar terutama sapi, domba, kambing ,babi dan kuda.







Gambar 4. Cara penularan Cryptosporidium sp.

3.6 GEJALA / TANDA KLINIS
Hewan yang terinfeksi oleh Cryptosporidium sp. diantaranya adalah sapi, kambing, ayam, tikus, babi, anjing dan kucing, sedangkan hewan yang sangat rentan terhadap infeksi Cryptosporidium sp. yaitu sapi, domba, babi dan kuda.
Gejala klinis dari penderita Cryptosporidiosis dapat bervariasi sesuai dengan status kekebalan hospesnya. Pada hewan muda kemungkinan peran sistem kekebalan yang masih belum sempurna, jika dibandingkan dengan hewan dewasa. Sehingga infeksi Cryptosporidium sp.pada hewan muda lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa.
Anak sapi (pedet) yang menderita Cryptosporidiosis biasanya akan mengalami diare ringan sampai sedang yang berlangsung selama beberapa hari tanpa pengobatan. Diare akibat Cryptosporidiosis cenderung lebih lama beberapa hari dibandingkan dengan diare yang disebabkan oleh rotavirus, coronavirus, atau enterotoksigenik Escherichia coli.
Tinja/feses pada hewan yang menderita Cryptosporidiosis berwarna kuning atau lebih pucat dengan konsistensi berair dan berlendir. Diare yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kekurusan.
Pada kebanyakan kasus pada hewan, diare akan berkurang setelah beberapa hari. Gejala klinis lain yang terlihat yaitu kelesuan, anoreksia dan dehidrasi. Dehidrasi berat, kelemahan dan koleps juga dapat terjadi pada kasus diare akut. Biasanya hal ini terjadi pada pedet (neonatal).










Gambar 5. Diare pada pedet akibat infeksi Cryptosporidium sp..

Salah satu faktor penyebab Cryptosporidiosis pada pedet adalah kontak langsung dengan lantai yang sebelumnya sudah tercemar Cryptosporidium  parvum yang berasal dari ternak dan lingkungan tercemar. Kualitas kolostrum yang bermutu jelek juga merupakan predisposisi terjadinya Cryptosporidiosis pada pedet. Penggunaan pupuk kandang untuk tanaman baik di ladang dan sawah merupakan faktor yang dapat menyebarkan kejadian Cryptosporidiosis pada pedet.
Cryptosporidiosis yang terjadi pada hewan dewasa dapat disebabkan karena adanya autoinfeksi serta dapat sebagai reservoar parasit anthropozoonosis yang berbahaya bagi manusia dan merupakan agen penyakit zoonotik yang memungkinkan terjadinya infeksi lebih lanjut. Pada hewan dewasa infeksi terlihat tidak begitu menonjol dibandingkan dengan hewan muda. Hal ini disebabkan adanya peran sistem kekebalan yang telah dimiliki oleh hewan dewasa.
3.7 DIAGNOSA
     Ada banyak tes diagnostik untuk Cryptosporidium, diantaranya secara mikroskopis, staining (pemberian noda), dan deteksi dari antibodi.
a)      Mikroskopis dapat membantu mengidentifikasi oocysts atau ookista pada feses yang terinfeksi. Untuk meningkatkan peluang mencari oocysts, ahli diagnosa harus memeriksa minimal 3 sampel feses.
b)      Teknik Staining yaitu dengan memberikan asam-fast staining, yang akan memberikan noda merah pada oocysts. Sebagian dari usus kecil dapat dicemarkan dengan hematoxylin dan eosin (H & E), yang akan menampilkan oocysts yang melekat pada sel epithelial.
c)      Deteksi antigen merupakan cara lain untuk mendiagnosa penyakit. Ini dapat dilakukan dengan Direct Fluorescent Antibody (DFA).
d)     Pewarnaan dengan safranin.
e)      Polymerase chain reaction (PCR) bisa juga digunakan untuk mendiagnosa cryptosporidiosis, bahkan dapat mengidentifikasi jenis Cryptosporidium yang lebih spesifik.

3.8  TINDAKAN
Pengobatan
Pengobatan awal yang dapat dilakukan adalah dengan penggantian cairan yang hilang yaitu dengan pemberian elektrolit hangat. Anak sapi yang terinfeksi Cryptosporidium sp.terutama jika menunjukkan gejala diare yang parah harus diberikan cairan tersebut secara oral maupun parenteral, bila perlu sampai pemulihan terjadi. Anak sapi masih diberikan susu dalam jumlah kecil beberapa kali sehari untuk mengoptimalkan pencernaan dan untuk meminimalkan penurunan berat badan.
Halofuginone dilaporkan dapat mengurangi produksi ookista pada domba yang diinfeksi secara eksperimental dan pada anak sapi yang terinfeksi secara alami maupun yang diinfeksi secara eksperimental. Pemberian paromomycin sulfat dengan dosis 100 mg/kg/hari PO selama 11 hari telah terbukti berhasil dalam mencegah penyakit secara alami dalam uji coba di lapangan pada anak kambing.
Pencegahan
Hal yang sekiranya dapat dilakukan untuk mencegah penyakit Cryptosporidiosis nadalah sebagai berikut :

1.                  Mencegah penggunaan air yang terkotaminasi dengan ookista Cryptosporidium sp..
2.                  Mencegah kosumsi pakan hewan yang terkotaminasi dengan ookista Cryptosporidium sp..
3.                  Isolasikan hewan penderita Cryptosporidiosis sampai hewan tersebut sembuh
4.                  Menghindari terpapar dengan feses hewan atau manusia yang terkotaminasi dengan ookista Cryptosporidium sp..
5.                  Sanitasi kandang yang baik
6.                  Kandang cukup sinar matahari karena dapat mengurangi atau membunuh Cryptosporidium sp..












BAB IV
PEMBAHASAN
Salah satu penyebab kasus Cryptosporidiosis pada pedet adalah adanya kontak langsung dengan lantai yang sebelumnya sudah tercemar Cryptosporidium sp.yang berasal dari ternak dan lingkungan tercemar. Kebanyakan hal ini terjadi karena hewan yang biasa mengkosumsi air sungai.  Sebagian besar peternak menggunakan air sungai, air telaga atau air kolam (air permukaan tanah) untuk pemberian minum ternaknya. Selain itu juga ternak yang mudah terinfeksi adalah hewan yang ditempatkan pada kandang dengan alas tanah, karena alas tanah menyebabkan kondisi kandang menjadi lembab (Muhid et al. (2011). Ternak yang menggunakan alas kandang tanah memiliki resiko terinfeksi Cryptosporidium sp.lebih tinggi daripada ternak yang menggunakan alas kandang semen.
Sistem pemeliharaan ternak sapi terdiri dari 3 cara, yaitu dikandangkan terus-menerus (intensif), dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari (semi-intensif), dan dilepas atau digembalakan secara terus-menerus (ekstensif). Sistem pemeliharaan ternak yang dikandangkan secara terus-menerus lebih lebih mudah terinfeksi dibandingkan dengan ternak yang dilepas pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari dan dilepas atau digembalakan terus menerus . Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp.lebih tinggi pada ternak yang dikandangkan secara terus-menerus, karena pada umumnya ternak defekasi dan mengkonsumsi pakan dan air pada tempat yang sama (Muhid et al. 2011).
Frekuensi membersihkan kandang termasuk faktor yang dapat memengaruhi prevalensi infeksi Cryptosporidiosis pada ternak sapi. Kandang yang dibersihkan secara terus-menerus dapat mengurangi tumpukan feses sapi yang berpotensi sebagai media penyebab infeksi Cryptosporidiosis.. Kandang yang jarang dibersihkan menyebabkan adanya tumpukan kotoran yang dapat mengakibatkan kondisi kandang menjadi lembab. Kondisi lingkungan yang basah dan cukup lembab dapat menyebabkan ookista Cryptosporidium sp.bertahan hidup selama berbulan-bulan, namun ookista Cryptosporidium sp.tidak dapat bertahan lama pada kondisi kering. Salah satu faktor penyebab infeksi Cryptosporidium sp.adalah sumber air yang digunakan oleh peternak sapi (Office International des Epizooties (2004).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1  SIMPULAN
Cryptosporidiosis merupakan suatu infeksi usus halus yang disebabkan oleh Cryptosporidium sp.. Penyakit ini bersifat zoonosis yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan juga sebaliknya melalui perantara air atau makanan yang terinfeksi oleh ookista Cryptosporidium sp.yang mengakibatkan diare yang sangat serius bagi penderitanya. Gejala klinis lain yang dapat terlihat yaitu kelesuan, anoreksia dan dehidrasi. Dehidrasi berat, kelemahan dan koleps juga dapat terjadi pada kasus diare akut. Biasanya hal ini terjadi pada hewan yang berumur muda. Diagnosa banding dari penyakit ini adalah Eschericia coli, Salmonella, dan Giardiasis/Lamblia. Umur hewan paling rentan terinfeksi adalah pada umur 1 – 30 hari.
5.2   SARAN
Dari hasil pembahasan tersebut dapat disarankan kepada para peternak untuk melaksanakan penangan sanitasi lingkungan kandang secara lebih intensif, terutama di daerah dataran tinggi. Pencemaran air oleh sejumlah ookista Cryptosporidium sp.diperlukan langkah-langkah penanggulangan seperti perlunya pembuatan saptik tang untuk menampung kotoran ternak, dan diupayakan pengeringan kotoran sebelum dipakai pupuk. MengingatCryptosporidiosisadalah penyakit zoonotic maka para peternak perlu diberikan penyuluhan untuk mengetahui dan mencegah Cryptosporidiosis ini.





DAFTAR PUSTAKA

Artama K, Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2005. Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp.pada Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Enemark HL. Hansen VB. Lindp. Heegarard PMH, Vigree H, Ahrens P, Thamsborg SM. 2003. Pathogenicity of Cryptosporidium parvum evaluation of an animal infection model. Vet Parasitology 113: 35-57.
Jenkins MB, Bowman DD, Foyarty EA, Ghiose WC. 2002. Cryptosporidium parvum oocysts inactivation in three soil types at various temperatures and water potentiolist. Soil Biology & Biochemistry (34): 1101-1109.
Magdy EM dkk.2014.Prevalence and Genotyping of Cryptosporidium spp. in Farm Animals in Egypt. Department of Zoology, Faculty of Science, Kafrelsheikh University, Kafr El Sheikh, 33516
Manshur Ahmad, Irwan dan Cahyaningsih, Umi.2014.Kajian prevalensi kriptosoridiosis dan Sistem Manajemen Peternakan Sapi Potong di Peternakan Rakyat Kabupaten Cianjur. Fakultas Kedokteran Hewan.Institut Pertanian Bogor.
Rifky Yudyantoro, Bambang.2014.Prevalensi kasus Kriptosporidiosis pada Sapi potong di Kecamatan Cipatujuh dan Cikalong, Tasikmalaya, Jawa.Fakultas Kedokteran Hewan.Institut Pertanian Bogor.
Sreter T, I Varga. 2000. Kriptosporidiosis in birds – A Review. Veterinary Parasitology 87: 261-279.
Susilo,Joko.2013. Diare Ganas Pada Pedet Sangat Mematikan. Medik Veteriner Balai Veteriner Lampung





1 komentar: